Oleh: Anton
Sutrisno[1]
Kebijakan upah minimum selalu menjadi isu strategis dalam pembangunan
ekonomi daerah. Di satu sisi, upah minimum dipandang sebagai instrumen
perlindungan pekerja untuk menjamin kehidupan yang layak. Di sisi lain,
kebijakan ini sering kali dikhawatirkan dapat menekan dunia usaha, terutama
sektor padat karya dan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Dalam konteks
Provinsi Bengkulu, keputusan Dewan Pengupahan Provinsi Bengkulu yang
merekomendasikan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2026 menjadi
momentum penting yang perlu dicermati secara lebih mendalam, baik dari sisi
dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah maupun kaitannya dengan kondisi
ekonomi nasional.
![]() |
| Dampak Kenaikan UMK 2026 |
Kenaikan UMK Bengkulu 2026: Fakta
dan Pertimbangan Kebijakan
Rapat Dewan Pengupahan Provinsi Bengkulu yang dirampungkan pada Desember
2025 menghasilkan kesepakatan kenaikan UMK di mayoritas kabupaten/kota. Empat
daerah, yakni Kabupaten Mukomuko, Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, dan
Kabupaten Bengkulu Utara, resmi direkomendasikan mengalami kenaikan upah.
Besaran kenaikan berkisar antara Rp128.000 hingga Rp164.000 atau sekitar 5–5,5
persen dibandingkan UMK tahun sebelumnya.
Secara rinci, UMK Kabupaten Mukomuko naik menjadi Rp3.217.086, Kota
Bengkulu menjadi Rp3.089.218, Bengkulu Tengah Rp2.945.142, dan Bengkulu Utara
Rp2.906.158. Sementara itu, Kabupaten Rejang Lebong masih menghadapi perbedaan
pandangan terkait regulasi pengupahan yang digunakan, sehingga keputusan akhir
diserahkan kepada Gubernur Bengkulu. Adapun Kabupaten Seluma dan Kepahiang
belum menetapkan UMK dan masih mengacu pada Upah Minimum Provinsi (UMP) Bengkulu.
Pemerintah Provinsi menegaskan bahwa seluruh rekomendasi UMK tersebut
disusun melalui mekanisme tripartit, melibatkan unsur pemerintah, pengusaha,
dan serikat pekerja. Pertimbangan utama yang digunakan adalah keseimbangan
antara kebutuhan hidup layak pekerja dan kemampuan dunia usaha. Dengan
demikian, kenaikan UMK 2026 tidak bersifat sepihak, melainkan merupakan hasil
kompromi kepentingan ekonomi dan sosial.
Dampak terhadap Kesejahteraan
Pekerja dan Daya Beli Masyarakat
Dari perspektif ekonomi makro daerah, kenaikan UMK berpotensi memberikan
dampak positif terhadap kesejahteraan pekerja dan daya beli masyarakat.
Bengkulu sebagai provinsi dengan struktur ekonomi yang masih didominasi sektor
primer dan jasa lokal sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga sebagai
penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
Tambahan pendapatan yang diterima pekerja, meskipun secara nominal terlihat
tidak terlalu besar, dapat memberikan efek berantai (multiplier effect) bagi
perekonomian daerah. Peningkatan daya beli akan mendorong konsumsi barang dan
jasa lokal, mulai dari kebutuhan pokok, transportasi, hingga sektor perdagangan
dan jasa. Dalam jangka pendek, kondisi ini dapat membantu menjaga laju
pertumbuhan ekonomi Bengkulu agar tetap stabil di tengah ketidakpastian ekonomi
global.
Selain itu, kenaikan UMK juga memiliki dimensi sosial yang penting. Upah
yang lebih layak dapat mengurangi tekanan ekonomi rumah tangga pekerja,
menurunkan tingkat kemiskinan pekerja (working poor), serta meningkatkan
motivasi dan produktivitas tenaga kerja. Dalam jangka panjang, kondisi tenaga
kerja yang lebih sejahtera berpotensi meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, yang menjadi modal penting bagi pembangunan ekonomi daerah.
Tantangan bagi Dunia Usaha dan
Iklim Investasi
Meski memiliki dampak positif bagi pekerja, kenaikan UMK tidak dapat
dilepaskan dari tantangan yang dihadapi dunia usaha. Bagi perusahaan skala
besar dan menengah yang memiliki struktur permodalan kuat, kenaikan upah
relatif dapat diserap melalui efisiensi operasional atau peningkatan
produktivitas. Namun, bagi UMKM dan usaha padat karya, terutama di sektor
perdagangan, perkebunan, dan jasa lokal, kenaikan biaya tenaga kerja berpotensi
menjadi beban tambahan.
Di Bengkulu, struktur dunia usaha masih didominasi oleh UMKM dengan margin
keuntungan yang relatif tipis. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan
produktivitas atau dukungan kebijakan pemerintah, kenaikan UMK berisiko
mendorong pengusaha melakukan penyesuaian tenaga kerja, seperti pembatasan
perekrutan atau pengurangan jam kerja. Oleh karena itu, kebijakan upah minimum
perlu diiringi dengan kebijakan pendukung, seperti pelatihan tenaga kerja,
insentif pajak, kemudahan perizinan, dan akses pembiayaan bagi pelaku usaha.
Dari sudut pandang investasi, kepastian dan stabilitas kebijakan menjadi
faktor kunci. Kenaikan UMK Bengkulu 2026 yang masih berada dalam kisaran
moderat dan disepakati melalui mekanisme dialog sosial dapat memberikan sinyal
positif bagi investor bahwa kebijakan ketenagakerjaan di Bengkulu bersifat
terukur dan tidak ekstrem. Hal ini penting agar Bengkulu tetap kompetitif
dibandingkan daerah lain dalam menarik investasi, terutama di sektor-sektor
yang berorientasi pada pasar domestik.
Keterkaitan dengan Perkembangan
Ekonomi Nasional
Kebijakan kenaikan UMK Bengkulu 2026 juga perlu dilihat dalam konteks
ekonomi nasional. Pada level nasional, pemerintah tengah berupaya menjaga
keseimbangan antara perlindungan pekerja dan daya saing usaha, seiring dengan
upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi dan
tekanan global seperti inflasi, ketidakpastian geopolitik, serta fluktuasi
harga komoditas.
Kenaikan upah minimum di berbagai daerah, termasuk Bengkulu, mencerminkan
tren nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi domestik.
Dengan daya beli masyarakat yang lebih baik, pemerintah berharap roda ekonomi
daerah dapat terus berputar, sehingga kontribusi daerah terhadap pertumbuhan
nasional tetap terjaga.
Namun, perbedaan acuan regulasi pengupahan, seperti yang terjadi di
Kabupaten Rejang Lebong akibat perbedaan interpretasi PP Nomor 51 dan PP Nomor
49, menunjukkan masih adanya tantangan harmonisasi kebijakan di tingkat daerah.
Ke depan, sinkronisasi regulasi pusat dan daerah menjadi krusial agar kebijakan
upah minimum tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengganggu iklim
usaha.
Menjaga Keseimbangan antara
Keadilan dan Keberlanjutan Usaha
Pada akhirnya, kenaikan UMK Bengkulu tahun 2026 merupakan upaya untuk
menjaga keseimbangan antara keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Upah
minimum yang layak adalah hak pekerja dan fondasi bagi peningkatan kualitas
hidup. Namun, keberlanjutan dunia usaha juga merupakan prasyarat utama bagi
terciptanya lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Oleh karena itu, peran pemerintah daerah menjadi sangat penting dalam
memastikan bahwa kebijakan upah minimum diiringi dengan strategi penguatan
dunia usaha. Pembinaan UMKM, peningkatan keterampilan tenaga kerja, serta
penciptaan iklim investasi yang kondusif harus menjadi agenda yang berjalan
seiring dengan kebijakan pengupahan.
Dengan ditetapkannya UMK 2026 melalui Surat Keputusan Gubernur Bengkulu dan
mulai berlaku pada 1 Januari 2026, diharapkan Bengkulu mampu memanfaatkan
momentum ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Kesejahteraan
pekerja dapat meningkat tanpa mengorbankan keberlangsungan dunia usaha,
sehingga Bengkulu dapat berkontribusi secara optimal dalam pembangunan ekonomi
nasional yang berkelanjutan.

0 Komentar
Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda