KEARIFAN LOKAL DI BENGKULU

Oleh :  Anton Sutrisno

Pendahuluan

Membahas kearifan lokal yang ada di masyarakat Provinsi Bengkulu sebenarnya cukup menarik, tetapi sayang masih terbatas dalam literatur yang ada. Disamping itu kearifan lokal yang ada tidak terlalu menonjol sebagaimana yang ada di daerah lain. Hal ini disebabkan dengan beragamnya suku yang mendiami di daerah Bengkulu. Masing-masing suku memiliki tata cara sendiri.

Dengan segala keterbatasan ini dicoba untuk disusun tulisan ini. Sumber yang digali ada yang berdasarkan pengalaman dan pengamatan langsung, ada juga yang berdasarkan literatur yang ada. Aspek yang dibahas tidak hanya yang bersumber dari masyarakat asli bengkulu saja, seperti suku rejang, serawai, pekal, akan tetapi dari suku luar bengkulu yang sudah lama tinggal di Bengkulu dimana kearifan ini seharusnya menajadi khasanah bengkulu, karena telah terjadi metamorfosis dan penyesuaian dengan masyarakat lokal seperti subak yang ada di Kecamatan Arga Makmur Bengkulu Utara.


Metode Penulisan

    Metode yang digunakan pada penulisan ini adalah studi pustaka, yang bersumber dari publikasi di internet, hasil penelitian. Sumber lain yang diambil adalah cerita dari masyarakat dimana penulis berada, yaitu dari masyarakat di sekitar kota Arga Makmur. Cerita ini diperoleh melalui diskusi atau obrolan sederhana yang dicatat dan dikumpulkan bebeapa waktu sebelumnya.

Kearifan 1. Proses Bercocok Tanam Adat Rejang

Bercocok Tanam Adat Rejang
Panen padi menggunakan ketam

Prosesi bercocok tanam pada ladang menurut hukum adat Rejang, dimulai dengan proses memilih tanah untuk berladang, membuka hutan dan ritual sebelum membuka hutan. Ritual dipimpin oleh seorang tetua adat (dukun), ritual berfungsi sebagai ungkapan permisi atau mohon izin kepada para leluhur nenek moyang untuk membuka tanah marga. Dalam bahasa Rejang ritual membuka hutan ini dinamakan kedurai ketan uban. Untuk mengetahui prosesi, subjek bercocok tanam ladang dan akibat apabila tidak melakukan prosesi upacara bercocok tanam menurut hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong.

Prosesi bercocok tanam di lading menurut hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong masih di pakai sampai sekarang dari tradisi nenek moyang, dengan meyakini prosesi sebelum membuka ladang akan terhindari dari segala hal yang tidak diingginkan.
Adapun yang terlibat dalam prosesi bercocok tanam di ladang menurut hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong adalah untuk menjalankan prosesi bercocok tanam di ladang dan yang dilibatkan atau untuk menjalankan prosesi itu ialah dukun dan keluarga yang bersangkutan serta orang yang membantu dalam membersihkan ladang tersebut.

Akibatnya bagi masyarakat yang tidak melakukan prosesi bercocok tanam ladang menurut hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong yaitu biasanya mendapat kesulitan dalam berladang ataupun mendapat musibah, seperti hasil tanamannya kurang baik, diganggu makhluk halus. kegiatan prosesi sebelum berladang untuk menghindari kejadian‐kejadian yang tidak di kehendaki.

Kearifan 2. Pemetaan Wilayah Hutan Adat Rejang dan Serawai

Sukku Rejang memiliki kearifan dengan mengetahui zonasi hutan, mereka sudah menentukan imbo lem (hutan dalam), imbo u'ai (hutan muda) dan pinggea imbo (hutan pinggiran). Dengan zonasi yang mereka buat, maka ada aturan-aturan tentang penanaman dan penebangan kayu. Hampir mirip dengan Suku Rejang, Suku Serawai yang dikenal sebagai tipikal masyarakat peladang telah mengembangkan kearifan lokal dalam pembukaan ladang yaitu "celako humo" atau "cacat humo", dimana dalam pembukaan ladang mereka melihat tanda-tanda alam dulu sebelum membuka ladang dimana ada tujuh pantangan, ketujuh pantangan ini jika dilanggar salah satunya akan berakibat alam dan penunggunya (makhluk gaib) akan marah dan menebar penyakit. Tujuh pantangan tersebut yaitu:
- ulu tulung buntu, dilarang membuka ladang di hutan tempat mata air
- sepelancar perahu
- kijang ngulangi tai
- macan merunggu
- sepit panggang
- bapak menunggu anak
- dan nunggu sangkup


Kearifan 3. Pengolahan Lahan Rawa Untuk Usahatani Padi

Metode pengolahan lahan rawa yang saya tuliskan ini sebenarnya hasil pengamatan pada sekitar tahun 1985. Ketika itu sawah irigasi belum banyak terbangun di daerah transmigrasi kurotidur kabupaten Bengkulu Utara, yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi kecamatan Padang Jaya.

Teknologi ini awalnya tidak menarik untuk di tulis karena terkesan “malas” oleh warga dari jawa. Tetapi setelah belajar teknologi pengolahan tanah minimum tillage dan juga no tillage, maka teknologi tersebut menjadi benar. Pendorong untuk dimuat pada tugas ini adalah adanya kesesuaiaan dengan hasil penelitian Isdijanto Ar-Riza, Nurul Fauziati dan Hidayat D.Noor yang berjudul Kearifan Lokal Sumber Inovasi dalam Mewarnai Teknologi Budidaya Pada Lahan Rawa Lebak, dari Balai Penelitian Lahan Rawa Lebak.

Usaha tani pada lahan rawa lebak sampai dengan saat ini belum ada teknologi yang mampu mengatasinya. Menurut Ar Riza dkk. keberhasilan uhatani padi di lahan rawa lebak sangat ditentukan oleh kondisi cuaca setempat dan wilayah sekitarnya terutama daerah hulu, yang akan berpengaruh langsung pada kondisi air rawa. Air rawa yang menyurut secara perlahan akan sangat memudahkan bagi petani untuk menentukan saat tanam yang tepat, tetapi sebaliknya air rawa yang menyurut berfluktuasi tidak teratur akibat curah hujan yang sangat fluktuatif akan menyulitkan petani dalam menentukan saat tanam yang tepat. Pemilihan lokasi dan penentuan saat tanam yang tidak tepat utamanya untuk pertanaman padi surung akan membawa resiko gagal panen akibat terkena cekaman redaman air akibat air rawa yang terus meninggi.

Teknologi yang dapat dibilang menarik dan merupakan kearifan lokal dari masyarakat Rejang pada saat itu. Teknologi lokal ini memberikan manfaat  yang sangat besar bagi kelestarian alam dan lingkungan. Tetapi saat ini jarang sekali ditemui, masyarakat lebih suka menggunakan teknologi yang dikatakan maju akan tetapi tidak ramah terhadap lingkungan. Kegiatan Tanam yang merupakan teknologi kearifan lokal sebagai berikut:

1.    Pemilihan lahan subur
Dalam melaksanakan kegiatan usaha tani di lahan rawa, petani memilih lahan tanjung atau lahan yang dekat dengan sungai, karena wilayah tersebut selalu mendapat kiriman lumpur subur, yang ditandai warna tanah hitam gembur, dan telah banyak ditumbuhi oleh jenis tubuhan air, seperti Kiambang (Salvinia sp) Enceg gondok (Elchornia sp) dan tanda-tanda khas lainnya.

Berdasarkan hasil  penelitian diketahui bahwa kedua jenis tumbuhan air tersebut tumbuh baik pada pH di atas 4, dan kurang baik pada pH kurang dari 4. Selain itu transportasi dari tempat tinggal ke sawah pulang pergi lebih mudah, terutama untuk kegiatan pengangkutan hasil. Oleh karena itu hampir semua wilayah lahan lebak dangkal telah diusahakan untuk pertanian.

Di Kabupaten Bengkulu Utara banyak diusahakan diwilayah sepanjang sungai Air Palik,  di Wilayah Aur Gading, Kecamatan Kerkap, Desa Tanjung Agung di Kecamatan Air Besi, di sebanjang Air Nokan dan Air Lais yang meliputi Desa Tebing Kaning, Taba Tembilang, Karang Anyar di Kecamatan Arga Makmur hingga  Kecamatan lais. Masih banyak lagi sawah-sawah kecil yang berada di pinggir sungai kecil.

Saat ini rawa tersebut telah diolah lebih teknis. Pemerintah telah membantu dengan membangun bendung irigiasi, sehingga karakter rawa lebaknya telah berubah menjadi sawah irigasi semi teknis dan teknis. Jelasnya pada lokasi tersebut  jauh lebih subur dibandingkan dengan sawah yang telah tersentuh teknologi modern seperti di hamparan sawah Kemumu.

2.    Pola Tanam
Pola tanam, pada awalnya padi-bera karena varitas yang ditanam adalah varitas dalam. Saat ini pola tanam padi-padi-bera. Masyarakat telah banyak kehilangan padi lokal dan digantikan dengan benih unggul nasional yang berumur pendek. Akan tetapi dengan banyaknya program intensifikasi yang diintroduksikan sebagian hamparan yang luas telah menerapkan pola tanam padi-padi-padi. Pada areal ini agak kesulitan untuk merubah ke padi-padi-palawija. Musim tanam diawali pada musim penghujan.

Pola tanam padi-padi-bera masih diterapkan oleh masyakart di sepanjang sungai Air Lais. Hal ini mengikuti umur padi yang relative pendek umurnya. Sehingga dapat tanam padi 2 kali setahun.

Pola tanam ini disamping menyesuaikan musim, juga ternyata efektif dalam perbaikan kesuburan tanah dan juga pengendalian hama. Seperti pengalaman di Kabupaten Rejang Lebong yang menanam padi dan diberakan atau digunakan untuk mina seperti ikan emas lebih efektif. Penah pemerintah memperogramkan tanam padi pada musim bera tersebut, ternyata petani tidak panen, karena serangan hama tikus yang luar biasa.

Pola tanam ini merupakan kearifan lokal yang mulai terkikis karena kepentingan mengejar produksi. Petani memberikan kesempatan kepada tanah untuk memperbaiki dirinya, dengan dibiarkan tumbuh rumput, dan juga proses pembusukan sisa-sisa batang padi.
Masa bera ini biasanya bebarengan dengan musim lebaran idul fitri hingga akhir lebaran haji. Pada masa ini banyak aktifitas yang dilakukan di desa seperti kegiatan pernikahan.

Kondisi ekonomi masyarakat pada masa bera ini tidak terganggu. Petani memiliki sumber pendapatan lain yaitu karet. Sebuah pola diversifikasi yang menunjang ketahanan ekonomi masyarakat. Sehingga pada masyakat pedesaan Rejang memiliki ketahanan pangan. Sumber pangan tidak saja dari sawah tetapi juga pada ladang. Ketika lahan kebun karet masih dapat ditanami padi, maka dibudidayakan tanaman padi ladang. Sayangnya saat ini benih padi ladang juga mulai kesulitan. Pernah penulis dimintai untuk mencari benih padi ladang, ternyata untuk di Kecamatan Arga Makmur tidak tersedia, benih padi ladang masih dapat diperoleh di Kecamatan Pematang Tiga dan juga daerah Lebong Atas.

3.    Persiapan Lahan
Lahan dipersiapkan dengan cara menebas dengan menggunakan rimbe. Yaitu alat tebas yang diayunkan seperti mencangkul, arah ayunan dari kanan ke kiri. Penggunaan alat ini tidak ditemui lagi saat ini, telah kalah dengan herbisida.

Penebasan dilakukan pada saat air rawa masih dalam. Setelah di babat rumputnya dikumpulkan di pematang. Lahan yang bersih dan terbuka tersebut memberi peluang berkembangnya tumbuhan air jenis Kiambang atau Kai Apu (Salvinia mollesta) maupun Salvinia natan), tumbuhan air yang mempunyai dua cara berkembang biak (stolon dan spora) akan tubuh dan berkembang pesat menutup lahan.

Kearifan lokal ini menimbulkan hamparan populasi Salvinia sp yang cukup luas dan tebal. Hamparan tersebut turun ke permukaan tanah pada saat air mulai mengering, dengan populasi yang rapat dan ketebalan bisa mencapai 15-20 cm. Kemudian petani menanam bibit padi di atas hamparan Salvinia tersebut, tanaman akan tumbuh bagus dan Salvinia akan menjadi mulsa yang efektif mengendalikan laju penguapan air tanah, pengendali gulma yang efektif serta sebagai sumber tambahan nutrien.

Cara penebasan yang lain adalah dengan membentuk arah jalur yang memanjang, atau berbentuk cumpukan rumput hasil tebasan. Setelah kegitan tanam selesai, rumput yang telah busuk hasil penebasan tersebut disebarkembali diatara barisan tanam, sebagai mulsa/pupu organik. Sebuah kearifan lokal yang sekarang diterapkan pada teknologi tanam padi metode SRI yang sedang popular. Padahal, masyarakat di Bengkulu dan juga di Kalimantan telah melakukan secara turun temurun.

Petani tidak melakukan pengolahan lahan seperti mencangkul atau membajak tanah. Ternyata saat ini baru dimengerti, bahwa teknologi tradisional ini lebih ramah terhadap lingkungan. Cara ini tidak merusak struktur tanah rawa yang kebanyakan merupakan lahan gambut. Tidak terjadi oksidasi yang meningkatkan keasaman tanah dan juga tidak mengakibatkan lepasnya gas metan ke udara dari kegiatan pengolahan tanah pada lahan gambut.

4.    Kegiatan Bertanam
Ada dua cara pada kegiatan bertanam padi, pertama dengan menggunakan persemaian, kemudian dipindah tanamkan. Kedua tidak menggunakan persemaian tetapi tanam benih langsung pada lahan dengan cara menugal untuk rawa  yang tidak terlalu dalam. Cara pertama yang lebih banyak digunakan.

Memulai kegiatan bertanam pada petani di Kalimantan memiliki poleh yang berbeda. Dalam melaksanakan budidaya padi rawa lebak, petani akan memulai kerja di persawahan berdasarkan tanda-tanda alam, diantaranya adalah jika diantara pepohohan (umumnya mangga rawa atau rerawa) telah terlihat banyak bentangan sulur putih serangga, dan pohon sejenis pohon dadap telah mulai berkembang, adalah satu pertanda bahwa musim kemarau akan segera tiba. Sehingga para petani akan segera mempersiapkan tempat persemaian, dan persiapan lahan. Sebaliknya jika di sungai-sungai telah mulai kelihatan perkembangan ikan Seluang (Rasbora agyrotaenia) satu jenis ikan kecil-kecil khas Kalimantan dan Sumatera, adalah sebagai pertanda bahwa musim hujan akan segera tiba, sehingga persiapan pertanaman padi sawah harus segera dimulai.


5.    Populasi Tanam
Bertanam padi di lahan lebak yang telah sangat eksis adalah menggunakan varietas unggul lokal, yaitu varietas yang sudah beradaptasi sangat baik di lahan lebak, karena sudah dibudidayakan sejak lama. Varietas ini umumnya berumur dalam, dan tinggi tanaman umumnya 90cm-120 cm atau ada yang lebih. Tinggi tanaman demikian karena disesuaikan dengan kondisi air, utamanya untuk pertanaman musim hujan pada rawa dangkal. Varietas ini mempunyai jumlah anakan maksimum yang tinggi 20-35 anakan/rumpun, dengan tipe kanopi yang menyebar, sehingga tidak semua anakan berhasil membentuk malai akibat tingginya respirasi sehingga net fotosintesa rendah. Untuk mendapatkan hasil yang baik, masyarakat petani umumnya telah memiliki pedoman untuk populasi per hektar, yang diterjemahkan dalam jarak tanam yaitu yang dikenal sebagai sistem tanam ”sedepa empat”, artinya dalam panjang sedepa yang eqivalen dengan 1,7 m ditanaman bibit sebayak 4 rumpun, yang jika jaraknya segi empat sama sisi maka populasi tanaman akan eqivalen dengan 55.363 rumpun /hektar. Populasi ini telah dilaksanakan sangat lama dan turun temurun. Namun dalam perkembangan pertanian di lahan lebak, populasi tersebut dinilai kurang sehingga muncul program upaya khusus (UPSUS) sistem tanam ”sedapa empat” diubah menjadi sistem tanam ”sedepa lima”, atau ”sedepa tambah satu” dan yang terakhir diperkenalkan sistem tanam ”dua sembilan” yang berarti dalam dua depa ditanam 9 rumpun. Populasi tanam tersebut memang jarang tetapi mempunyai nilai ilmiah karena tunas anakan yang tinggi dan dan krop kanopinya yang menyebar, sehingga ilmu tanaman ddalam aspek distribusi sinar matahari dan bentuk tanaman sebenarnya telah dimiliki dan diterapkan oleh petani lahan lebak sejak lama sekali. Hal tersebut kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Indigenous knowledge, local wisdom tersebut telah mengispirasi timbulnya ”sistem legowo” (lego dan dowo), ”habas” (hawa bebas), dan lainnya yang telah berkembang selama ini.



Kearifan 4. Subak di Kabupaten Bengkulu Utara

Ketika mendengar kata Subak, banyangan yang terlintas pada benak kita adalah Pulau Dewata Bali. Sistem pengaturan air secara tradisional yang sudah berabad-abad lamanya, akan tetapi masih langgeng sampai dengan sekarang. Diterapkan dalam pengaturan air untuk kegiatan pertanian di Pulau Bali. Subak ini berkaitan erat dengan kegiatan keagamaan hindu dan aktivitas pengelolaan air. Sehingga akan melekat erat dalam pengelolaan air dimana ada orang yang beragama hindu bali melakukan kegiatan yang memanfaatkan pertanian.

Membahas subak akan menjadi menarik untuk diamati jika ternyata dapat tetap tumbuh di daerah  yang jauh dari tempat asalnya. Di Kabupaten Bengkulu Utara terdapat daerah transmigrasi yang berasal dari Bali pada tahun 70 an.  Desa Rama Agung mayoritas penduduknya berasal dari Bali yang beragama Hindu. Desa Sumber Agung hanya sebagian penduduk dari Bali, ada juga dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Keduanya berada di Kecamatan Arga Makmur, yaitu di Ibu Kota Kabupaten Bengkulu Utara. Desa Rama Agung berada pada pusat Kota Arga Makmur, sebagian perkantoran dan Rumah Dinas Pejabat Kabupaten ada di sana. Sedangkan Desa Suber Agung masih berada di pinggiran kecamatan berjarak sekitar 15 km  dari pusat kota.

Saat ini di Desa Rama Agung telah bercampur berbagai etnis dan agama. Masjid, Gereja, Pura dan Vihara ada di sana dengan jarak yang berdekatan. Selain suku Bali, juga terdapat jawa, batak dan juga masyarakat yang berasal dari sekitar Arga Makmur. Letak rumah juga sudah berbaur, mudah untuk menandai masyarakat Bali yaitu dengan adanya tempat sesaji yang dibangun di depan rumah. Sementara untuk agama lain selain umat Hindu tidak ada bangunan ini.

Berbeda di Desa sumber Agung, mereka masih mengelompok sesuai dengan penempatan pada saat transmigrasi. Belum banyak pencampuran karena daerah ini cukup jauh dari pusat kota. Jika sepintas dilihat di sana akan tampak blok area Jawa, Sunda dan Bali dengan ciri khas pekarangan dan bentuk rumah masing-masing. Pembauran di pemukiman tidak terlalu menonjol.

Menariknya, meskipun sudah berbaur dan telah lama meninggalkan kampung halaman, kegiatan Subak tetap dilestarikan. Anggota Subak tidak semuanya orang Bali, siapapun yang memiliki lahan di areal tersebut. Bahkan ada salah seorang ketuanya berasal dari suku Sunda dan beragama Islam.

Wilayah kegiatan Subak ditentukan berdasarkan luasan areal yang dapat diairi oleh bendung irigasi. Dalam satu bendung dibangun satu Bedugul sebagai tempat pemujaan terhadap dewa Baruna yang memelihara dan menjaga air. Bendung yang ada di daerah ini berasal dari sungai-sungai kecil yang dibangun cek dam. Terdapat 3 subak di Kecamatan Arga Makmur. Subak Tirta Gangga di Desa Sido Urip – Rama Agung, Subak Rama Dewata di Desa Rama Agung, Subak Tripugar Baru di Desa Taba Tembilang. Kelompok Subak terbesar adalah Subak Tirta Gangga.

Masing-masing Subak ini dipimpin oleh seorang Klian Subak (ketua/imam). Klian ini yang menetapkan kapan mulai tanam. Biasanya pada awal tanam dilakukan pembersihan saluran irigasi dan juga pengecekan bendungan. Kegiatan ini dilakukan secara bergotong royong sesama anggota subak. Gotong royong dikoordinir oleh Ulu-ulu, yang juga bertugas mengatur air. Pembagian air ditentukan berdasarkan luasan lahan yang dimiliki oleh anggota. Perbedaan dengan di Bali, Klian tidak mengatur pola tanam dan pergiliran tanaman, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil, karena pengaturan pola tanam telah ditetapkan oleh Dinas Pertanian dan Dinas PU Kabupaten Bengkulu Utara.

Pada tahun 1983 kelompok subak ini di bina oleh PU Pengairan Kabupaten Bengkulu Utara, sehingga nama kelompok ini dirubah menjadi KP2A (Kelompok Petani Pemakai Air), Peran strategis pengaturan air dipegang oleh Ketua KP2A dan pengurusnya, sedang pembagian air masih dilakukan oleh Ulu-ulu. Peran Klian menjadi tidak terlalu dominan, hanya memimpin upacara keagamaan saja. Dampak dan pengaruh Subak tidak seperti yang digambarkan di atas. Kearifan lokal yang mampu mengedalikan hama dengan pengaturan pola tanam telah terdistorsi oleh kebijakan ini.



Dinamika Organisasi Subak
Tahun 2007 – 2008 penulis melakukan pendampingan terhadap kelompok tani yang ada di Bengkulu Utara, salah satunya kelompok Subak melalui Organisasi Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera (PPNSI).  Sebuah lembaga yang mengadvokasi kepentingan petani dan memfasilitasi akses kelompok tani terhadap program-program Departemen Pertanian.

Kelompok Subak Tirta Gangga difasilitasi sehingga dapat mengakses program LM3 (Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat) dari Departemen Pertanian. Klian Subak Tirta Gangga adalah Wayan Pageh, jabatannya juga merangkap sebagai Bendahara pada Kelompok Tani Tirta Gangga yang juga KP2A Tirga Gangga. Sedangkan ketua kelompoknya adalah seorang dari Suku Sunda yaitu Edi Suryadi yang lebih dikenal dengan nama Mang Edi, seorang buta huruf tetapi jujur dan amanah sehingga dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin kelompok tani sekaligus KP2A.

 Kelompok Subak lainnya adalah Subak Rama Dewata yang dipimpin oleh Wayan Balik, dia juga merangkap sebagai ketua kelompok tani dan juga klian subak. Fasilitasi PPNSI hingga memperoleh Bantuan sosial dari Menteri Pertanian sebanyak 10 ekor sapi PO. Pada kelompok ini kegiatan subak juga hanya kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan saja, pembagian air lebih didominasi oleh KP2A yang tugasnya dilakukan oleh ulu-ulu.

Ada beberapa kesepakatan kelompok yang penulis tidak temukan pada kelompok lain yang bukan kelompok subak, berkaitan dengan hak pemakai air dan juga sanksi. Penulis pernah betugas sebagai penyuluh pada Desa Sido Urip tidak menemukan kesepakatan yang demikian. Desa Sido Urip merupakan desa yang berbatasan dengan Rama Agung, yaitu di Dusun Suka Sari dimana Subak Tirta Gangga. Oleh karena itu sementara saya menilai bahwa kesepakatan tersebut merupakan warisan subak.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, kelompok subak ini lebih tertib dan taat terhadap jadwal pertemuan, dibanding dengan kelompok tani lainnya. Pertemuan dilakukan setiap bulan sekali pada tanggal tertentu yang telah disepakati. Pada pertemuan ini biasanya membahas permasalahan anggotanya terutama dalam pembagian air ulu-ulu, pembayaran iuran bulanan dan juga kegiatan simpan pinjam yang memanfaatkan kas kelompok. Peserta yang mengikuti pertemuan ini adalah semua petani  dalam satu hamparan yang terkena saluran air dalam wilayah subak. Tidak terbatas sehingga tidak memandang agama, kepercayaan atau suku tertentu. Ini berbeda dengan kelompok tani lain, yang pertemuannya bila ada bantuan atau memang diminta oleh penyuluh. Pada kelompok Subak ini penyuluh atau petugas dari Dinas Pertanian harus menyesuaikan jadwal mereka untuk dapat bertemu dengan anggota kelompok secara keseluruhan.

Pembagian air ditetapkan berdasarkan berapa polong yang dibutuhkan. Polong merupakan istilah pipa atau saluran dari irigasi ke lahan. Banyaknya polong menggambarkan debit air yang dibutuhkan. Ditentukan berdasarkan luasan lahannya atau pemanfaatanya. Sebagai contoh jika seorang anggota subak memanfaatkan air untuk kolam satu petak, biasanya kebutuhan airnya dua polong yang setara dengan luas sawah 5 petak. Jumlah polong juga akan menentukan kewajibannya dalam membayar iuran bulanan kelompok.

Jika terjadi kerusakan atau pemeliharaan rutin, maka dilakukan gotong royong memperbaiki bendungan dan saluran irigasi. Kerusakan sering terjadi seperti tanggul yang jebol, tanah longsor atau pohon tumbang yang menutup saluran irigasi. Kesepakatan gotong royong ini ditetapkan oleh ketua KP2A atau ulu-ulu. Apabila ada yang tidak dapat hadir maka terkena denda. Kewajiban gotong royong ini ditetapkan berdasarkan polong volume air. Jika anggota kelompok ini memiliki dua hamparan lahan sawah, maka dia harus mengirimkan 2 orang yang ikut gotong royong. Biasanya bapak dan anak ikut gotong royong. Jika tidak mampu, maka dia harus membayar denda (ngampel). Pembayaran denda ini (ngampel) juga berlaku pada orang yang sudah tidak mampu lagi bekerja berat, seperti sudah tua atau janda. Ngampel ini merupakan sejumlah pembayaran atas manfaat air selama satu tahun, yang pembayaran selama tiga bulanan (mengikuti panen). Ngampel bukan denda atas ketidakhadiran gotong royong.

Berkaitan dengan penerapan hak dan juga sanksi, apakah itu denda atau ngampel biasanya sering terjadi perdebatan yang cukup sengit. Jika sanksi yang diberikan tidak diperhatikan, maka resikonya dapat dikeluarkan dari kelompok. Pada saat ini seorang klian menjadi penengah dan pemutus perselisihan. Selama ini keputusan dari seorang klian subak akan ditaati oleh semua anggota. Karena mereka percaya akan mendapatkan balak, atau karma pala akibat penentangan itu.

Anggota kelompok subak dapat tidak berpartisipasi (tidak aktif) pada kegiatan berkaitan dengan gotong royong perbaikan saluran air, jika sedang mananam palawija. Akan tetapi tetap membayar kewajiban iuran bulanan kelompok. Dia tetap berhak untuk ikut kegiatan simpan pinjam yang ada dikelompok. Jika sudah bersawah lagi maka dapat bergabung sebagaimana biasanya.


Kearifan 5. Adat Cuci Kampung

Cuci kampung merupakan upacara ritual tolak balak yang bertujuan agar semua warga kampung terhindar dari bencana. Dalam kehidupan sehari-hari upacara cuci kampung sering ditemukan ketika ada salah seorang warga kedapatan berbuat aib berupa perzinahan di suatu kampung. Cuci kampung merupakan acara ritual tolak balak yang bertujuan agar semua warga kampung terhindar dari bencana.

Dalam kehidupan sehari-hari acara cuci kampung sering kita temukan ketika ada salah seorang warga kampung kedapatan sedang berbuat aib di kampung tersebut, terutama aib di kampung tersebut, terutama aib yang berbau perzinahan.

Cuci kampung yang marak dewasa ini dianggap masyarakat desa untuk upaya melestarikan adat, akan tetapi jika kita pahami orang yang terkena adat cuci kampung ini sangat berdampak negatif bagi kehidupan sosialnya, karena menyebarkan aibnya sendiri begitu juga dengan warga desa yang melaksanakan adat cuci kampung tersebut akan menjadi malu jika dilihat warga desa lain.

Poses cuci kampung ini tidak lagi berjalan sebagai mana dulu, saat ini telah mengalami penurunan. Ada beberapa hal penyebabnya:
•    Banyaknya masyarakat pendatang yang tidak tahu tentang peraturan dan hukum adat yang berlaku disuatu desa.
•    Rendahnya kesadaran hukum masyarakat suatu tempat
•    Pelaku telah melarikan diri atau pergi dari tempat tinggalnya
•    Adanya ancaman dari pelaku sehingga perangkat desa tidak berani untuk menjatuhkan hukuman atau sanksi.
•    Kurangnya sosialisasi dari perangkat desa akan batasan hukum adat yang berlaku, sehingga masyarakat setempat tidak mengetahui batasan hukum adat yang berlaku tersebut.
•    Sudah terlau seringnya pelanggaran adat tersebut, sehingga menjadi hal yang biasa. 
 Masyarakat tidak lagi mengganggap perbuatan yang mendekati perzinaan sebagai aib yang akan mendatangkan malapetaka bagi desa tersebut.

Kearifan 6. Teknologi Rumah Tradisional Bengkulu yang tahan Gempa.

Ternyata rumah yang dibangun oleh masyarakat Bengkulu yang merupakan rumah panggung yang dominan struktur kayu. Rumah tahan gempa dengan teknologi yang luar biasa. Tulisan ini saya kutipkan dari hasil penelitian Triyadi dkk. (2010) tentang Bangunan Rumah Vernakular Bengkulu dalam merespon gempa. Penelitian dilakukan di Desa Duku Ulu Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong. Penelitian ini dilatarbelakangi dengan mampu bertahannya rumah tradisional Bengkulu terhadap gangguan gempa pada tahun 2000 dan 2007 lalu. Sehingga diharapkan teknologi ini dapat dilestarikan dan dapat dimasukkan dalam desain pembangunan rumah di Provinsi Bengkulu.

Rumah tradisional Bengkulu yang mendasari munculnya bangunan rumah vernakular Bengkulu pada prinsipnya ada 2 (dua) macam, yaitu rumah vernakular Rejang dan Rumah vernakular Melayu.  Rumah vernakular Rejang yang berasal atau bersumber dari rumah tradisional Rejang (Umeak Potong Jang atau Umeakan) yang sudah dipengaruhi oleh bentuk rumah Meranjat (bentuk rumah suku bangsa yang ada di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan).

Ukuran rumah vernakular Rejang di Desa Duku Ulu rata-rata mempunyai  lebar 6 – 7 m dan panjang 15 – 17 m, berbentuk empat persegi panjang, dengan pembagian ruang dalam yang teratur. Lantai bangunan panggung yang tingginya rata-rata 2,20 m (ruang bawah lantai panggung dapat dilalui orang tanpa perlu membungkuk). Bangunan vernakular ini menggunakan material kayu setempat (kayu medang kuning, medang batu, balam, dll) dan beberapa tambahan bagian bangunan menggunakan bambu (bambu serik, bambu menyan, bambu dabuk) untuk lantai bangunannya. Lantai bangunan ditopang oleh kolom atau tiang-tiang dari balok kayu (kayu bulat Ø 40 cm atau kayu 20/20) dan tiang diatas lantai panggung keatas berukuran 10/10 cm. Dinding bangunan dibuat dari papan kayu yang tebalnya ±2 cm. Untuk penutup atap menggunakan seng.

Gambar Rumah Vernakular Rejang.

Semua sistem sambungan komponen-komponen struktur bangunan dan konstruksi bangunan menggunakan sistem sambungan papurus, laki-betina (betino-lanang), tidak menggunakan paku (kecuali pada penutup lantai dan sebagian dinding) tetapi memakai pasak dari kayu atau bambu. Dinding menggunakan papan kayu yang dijepit atas bawah dan pada bagoan tertentu, seperti bagian dapur sudah menggunakan paku.

 
Sistim sambungan kayu dengan metode jepit.


Pondasi bangunan rumah vernakular Rejang di Desa Duku Ulu berbentuk umpak dari batu, pasangan bata, dan malah beberapa tiang panggung telah dirubah menjadi kolom beton atau pilar bata, bila terjadi gempa cukup kuat mengingat dimensi yang dipakai cukup besar. Demikian pula hubungan antara pondasi/ kolom panggung dan balok lantai merupakan tumpuan sendi, sehingga bila terjadi gempa lantai bangunan fleksibel bergerak sehingga bangunan secara keseluruhan tidak rusak.

Lantai bangunan merupakan sistem struktur yang menyatu dengan tiang-tiang bangunan yang tidak ada kaitan langsung dengan tiang panggung (tidak menerus dari tiang panggung menjadi tiang bangunan di lantai atas). Rangka lantai berhubungan langsung dengan kolom utama bangunan, balok-balok rangka dinding. Demikian pula dinding dan kolom utama akan pertemuan dengan rangka langit-langit dengan langit-langitnya dan sistem atap bangunan.

Material bangunan yang digunakan pada rumah vernakular Bengkulu Rejang di Desa Duku Ulu menggunakan material utama kayu, baik kayu yang masih berbentuk balok/ gelondongan ataupun yang sudah digergaji. Untuk penutup atap menggunakan material yang ringan pula yaitu bahan seng.

Pemakaian material kayu dan penutup atap seng menjadikan bangunan ini bangunan ringan, sehingga bila terjadi gempa bangunan hanya bergoyang dan tidak roboh. Pemilihan material dan metode pemasangannya pada bangunan ini merupakan indigenous knowledge yang tepat untuk mengantisipasi bencana gempa di daerah Bengkulu ini.



Kearifan 7. Hukum Sumber Cayo

Hukum sumber cayo yang banyak diterapkan di Bengkulu, mulai dari suku Rejang, Serawai hingga pekal yang ada di sekitar Ketahun, Napal Putih dan Mukomuko, yaitu tentang persoalan penggembalaan ternak dan juga pemeliharaan kebun. Kita tentunya sering mendengar salah satu dari hukum sumber cayo yaitu “Kebun Berkandang Siang dan Ternak Berkandang Malam”. Pada tahun 80 an, hukum ini sering menjadi pemicu konflik antara penduduk transmigrasi dan non transmigrasi.

Implementasi dari hukum ini adalah bagi pemilik ternak, wajib membuat kandang dan mengkandangkan ternaknya pada malam hari. Demikian juga pemilik kebun wajib membangun kandang (pagar) yang melindungi dari gangguan ternak pada siang hari. Tuntutan kepada pemilik ternak adalah apabila kerusakan tanaman di kebun terjadi pada malam hari, maka pemilik ternak terkena ganti rugi akibat perbuatan hewan peliharaannya. Akan tetapi jika kerusakan yang ditimbulkan pada siang hari, maka pemilik kebun tidak dapat menuntut ganti rugi, karena dia berkewajiban untuk menjaga kebunnya dan juga memagarnya.

Hukum ini sekarang mulai tidak dipergunakan, seiring dengan perubahan pola kebun masyarakat. Karet alam sudah berganti dengan karet unggul, perkebunan sawit. Disamping itu juga telah diberlakukannya Peraturan Daerah berkaitan dengan kewajiban mengandangkan ternak, sehingga ternak tidak boleh berkeliaran di jalan yang membahayakan pengguna jalan.

Menurut tokoh masyarakat pekal, Jamari AS Jamal (hasil obrolan singkat penulis dengan beliau) mengapa hukum sumber cayo disahkan oleh Belanda, tidak lain karena menguntungkan belanda dan elit masyarakat pada saat itu. Pemilik kerbau yang jumlahnya hingga ratusan adalah para pesirah dan bangsawan yang tunduk dengan Belanda. Sementara itu masyarakat biasa kebanyakan adalah petani. Beban berat petani menjaga kebunnya, apabila dirusak oleh ternak para pesirah dan bangsawan maka tidak dapat mengajukan tuntutan.

Pengalaman penulis ketika melakuan penyuluhan tentang optimalisasi pemanfaatan ternak, selain untuk peliharaan atau tabungan ternak juga menghasilkan kotoran yang dapat diolah menjadi pupuk. Ternyata pada suatu desa yang banyak ternak kesulitan untuk mengumpulkan kotoran ternak. Padahal ternak sudah di kandang. Rupanya ada perbedaan persepsi masyarakat tentang kandang yang penulis maksudkan. Kandang menurut mereka adalah pagar yang melingkari lokasi ternak sehingga tidak dapat berkeliaran. Seperti pagar keliling pada lokasi kebun. Persepsi penulis kandang adalah bangunan yang beratap dan ada pembatas ruang antar ternaknya sehingga tidak saling mengganggu. Bentuk ini menurut mereka adalah rumah, sehingga disepakati istilahnya bukan kandang tetapi rumah ternak.

Kendala ketika ternak dirumahkan adalah pemiliknya harus menyediakan pakan. Ini yang tidak dapat dilakukan oleh masyakarat, karena mereka menganggap tindakan itu adalah diperbudak oleh hewan. Sehingga ternak dirumahkan tidak efektif berjalan, akhirnya harus dijual. Populasi ternak bergantung dengan luasan lahan gembalaan, gembala dalam arti tetap diikat beberapa jam kemudian dipindahkan tempat mengikat pada lokasi rumput yang baik. Karena lokasi ini semakin lama semakin berkurang, maka ternaknya diputuskan untuk dijual.

Pemeliharaan ternak dengan cara berkandang malam, dan siang diangon (diikat pada lahan berumput) tetap bertahan pada masyarakat yang sudah beradaptasi dengan pola memelihara ternak pada masyarkaat transmigrasi yang terbiasa menyabit rumput untuk pakan ternaknya di malam hari.


Kearifan 8. Senamo itu bersaudara

Kesamaan nama, baik nama lengkap maupun nama panggilan,  pada suku Rejang di Kabuapten Bengkulu Utara menjadi dipersaudarakan. Ketika seseorang berjumpa dengan orang yang namanya sama, maka diteruskan dengan upacara atau doa selamat untuk menyatakan persaudaraan tersebut. Persudaraan ini tidak saja peda kedua orang tersebut, akan tetapi juga menyangkut keluarga kedua belah pihak. Sehingga apabila ada kerja baik maupaun ada kerja buruk dari kedua belah pihak maka diterapkan sebagaimana layaknya keluarga dekat.

Hal ini juga terjadi apabila seorang bapak memiliki anak dan nama anak tersebut sama dengan nama anak orang lain, maka dipersaudarakan. Seolah anak tersebut menjadi anak angkatnya. Simbol persudaraan ini juga melekat pada sebutan atau panggilan. Anak-anaknya akan memanggil bapak pada orang yang senama dengan orang tuanya.

Ada suatu peristiwa yang menarik, pada tahun 1999, di Desa Lubuk Balam Kecamatan Air Besi Kabupaten Bengkulu Utara, ada seorang Bapak yang bernama Pak Nuh, enggan untuk mengikuti pertemuan dengan Wakil Bupati Bengkulu Utara Drs. Salamun Haris di Balai Desa pada suatu acara resmi. Padahal Pak Nuh merupakan tokoh masyarakat didesa tersebut. Tidak ada tokoh masyarakat yang tidak hadir, apalagi ini merupakan pertemuan yang penting.

Ketika ditanya alasan ketidak hadiran, alasannya terdengar sepele dan menggelikan. Kata pak Nuh, anak ku bernama Salamun, saya tidak sanggup memanggil Bapak pada anakku. Warga akhirnya menjadi maklum.


Kearifan 9. Telun dan Mak Somai

Telun atau air terjun juga di larang untuk di kelola oleh warga komunitas disekitanya karena dipercayai adanya pengaruh gaib di sekitar wilayah tersebut. Telun dan air terjun merupakan daerah larangan karena terdapat sumber mata air yang harus dijaga.

Penebangan Pohon Madu yang disebut dengan Sialang adalah pantangan berat untuk ditebang, jika ditebang akan dikenakan denda setengah bangun atau setengah dari denda membunuh orang, begitu juga dengan menebang pohon-pohon di sekitar pohon sialang dianggap juga sebagai pantangan adat, sialang dianggap sebagai hak komunal dan ketika panen maka biasanya diketahui oleh seluruh masyarakat komunitas dan ada bagian tertentu dari hasil panen yang tidak boleh diambil dan dibiarkan tinggal di sekitar pohon karena dianggap itu adalah hak penunggu gaib dari pohon, proses panennya pun diiringi oleh nyayian-nyayian pujian baik pujian terhadap kayu maupun pujian terhadap penunggunya.

Selain pengaruh gaib juga ada penunggu yang disebut dengan Mak Somai yang mengawasi kawasan tersebut. Mak Somai merupakan harimau jadian yang dipercaya sebagai penunggu di wilayah tesebut.

Inilah bentuk kearifan lokal dalam rangka menjada pohon dan daerah konservasi, seperti daerah mata air dan air terjun yang sangat bermanfaat bagi kelestarian hutan. Cerita gaib, dan juga cerita legenda sangat efektif pada jaman dahulu untuk menjaga wilayah tersebut. Tuah cerita tersebut sekarang sudah mulai luntur. Seiring berkembangnya pengetahuan yang dirasakan oleh generasi masasyarakat di areal tersebut. Kuatnya dorongan ekonomi yang harus membuka hutan untuk kegiatan usaha, juga akan semakin menurunkan kesakralan cerita tersebut.

Penyadaran yang memiliki maksud yang sama perlu disampaikan kepada masyarkat. Hukum adat sebaiknya tetap diterapkan dengan pendekatan yang lebih modern dan rasional. Kelestarian pohon langka, dan juga sumber mata air  menjadi prioritan utama. Pendekatan kepada pemuda setampat, untuk perduli terhadap potensi alam. Penyadaran bahwa penduduk sangat bergantung hidupnya dengan alam sekitar. Peran pemerintah adalah menmbuat kebijakan yang sejalan dan selaras dengan semangat tersebut.



Kearifan 10. Adat Rejang dalam Pengelolaan Hutan

Suku Rejang yang mendiami daerah penggunungan yang saat ini berada pada kawasan Kabupaten Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang dan Bengkulu Tengah. Meskipun ada juga suku rejang yang berada di daearh pesisir di Kabupaten Bengkulu Utara mulai dari Kerkap hingga Serangai.

Suku rejang yang di pengunungan, hidup mereka sangat bergantung dengan hasil hutan. Secara turun temurun banyak kearifan lokal yang menjadi anutan masyarakat tersebut. Beberapa kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adalah sebagai berikut:
•    Taneak Tanai, adalah sebutan untuk hamparan tanah dalam lingkup komunitas adat yang dimiliki secara komunal dan biasanya adalah bagian wilayah kelola warga, ada konsewensi atas kepemilikan individu di wilayah taneak
•    tanai dimana setiap pihak yang mengelola di kawasan tertentu di dalam taneak tanai wajib untuk menanam tanaman-tamanan keras yang bernilai konservasi dan ekonomi seperti petai, durian dll sebagai tanda wilayah tersebut telah dimiliki oleh seseorang dan keluarga tertentu.
•    Utan atau Imbo Piadan, ini penyebutan untuk hutan yang dipercayai ada penunggu gaib sehingga ada beberapa prasyarat untuk membuka kawasan ini jarang ada warga yang berani membuka hutan larangan ini, kawasan yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib yang memelihara kawasan tersebut
•    Keduruai adalah salah satu tradisi yang dipercayai sebagai wadah komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib, ada beberapa jenis kedurai yang sering dilakukan oleh masyarakat di Jurukalang, kedurai untuk membuka lahan perkebunan di hutan di suatu wilayah tertentu adalah proses permintaan izin dan keselamatan bagi yang mengelolanya, Kedurai Agung biasanya dilakukan ketika ada teguran oleh alam gaib dalam bentuk Bumai Panes, proses Kedurai ini dilakukan oleh dukun yang disebut dengan Pawang, sarana-sarana lain yang harus dipersipakan juga dalam proses ini adalah anyaman bambu untuk dibuat acak, yaitu wadah untuk sesajen. Sesajen untuk ritual itu meliputi darah ayam (monok bae) yang disimpan di mangkok, minyak goreng, minyak manis, sirih matang, sirih mentah, 99 jeruk nipis, 99 batang rokok, serta tiga jenis bunga (mawar, cempaka gading, dan cepiring). Bahan lainnya yang juga dipergunakan untuk ritual itu antara lain 198 butir beras kunyit, kue tepung beras (sabai), benang tiga warna (putih, merah, dan hitam).
•    Mengeges adalah kebiasaan masyarakat di Jurukalang membersihkan lahan garapannya dengan dibakar, mengeges ini sebenarnya untuk mencegah jangan sampai api tersebut melalap kemana-mana, dalam proses pembakaran lahan biasanya dilakukan secara gotong royong
•    Ali bilai adalah penyebutan gotong royong dalam menyelesaikan salah satu pekerjaan warga secara bergiliran
•    Bo atau Silo adalah sejenis tanda larangan atau tanda hendak memiliki hasil hutan yang masih belum menghasilkan, yaitu sebatang bamboo yang ditusukkan ke tanah yang bagian atasnya dipecah dua dan di antara pecahanitu disempitkan sebatang bamboo lain
•    Sakea tanah garapan yang telah membentuk hutan kembali, biasanya masyarakat di Jurukalang kembali ke Sakea ketika tanah garapannya tidak subur, ini sering disebut dengan gilir balik dan pihak luar yang menganggap sebagai  masyarakat adat sering menyebut ini dengan peladang berpindah
•    Jamai keadaan tanah yang ditingalkan sesudah menuai atau keadaan tanah yang telah diusahakan dan disengaja ditinggalkan supaya menjadi hutan kembali
•    Meniken adalah kegiatan ritual atau kenduri untuk pembukaan lahan yang akan dibuka untuk dijadikan ladang atau lahan garapan
•    Selain beberapa kearifan lokal dalam mengelola keberlanjutan lingkungan marganya, ada beberapa larangan lain, kayu yang jika ditebang kemudian membentuk jembatan di dua sisi mata air kedua sisi tersebut dilarang untuk digarap, ada kepercayaan local yang jika di garap akan menimbulkan bahaya dan bencana bagi pemiliknya, dalam system konservasi modern kedua sisi in disebut dengan sempadan sungai. Begitu juga dengan lahan yang ketika kayu-kayunya ditebang akan meluncur jauh akibat lerengan yang terjal juga di larang untuk digarap.

Referensi

Akar Foundation, 2011. Kearifan Lokal Suku Rejang Jurukalang dalam Tata Kelola Hutan, http/satuportal.net/content/kearifan-lokal-suku-rejang-jurukalang-dala...
Andesti, Mery Yono, dan Adry, 2009.  Prosesi Bercocok Tanam di Ladang Menurut Hukum Adat Rejang di Kecamatan Rimbo Pengadang Kabupaten Lebong. (Tidak di publikasikan)
Anton Sutrisno, 2011, Eksistensi Subak di Daerah Transmigrasi Kabupaten Bengkulu Utara, tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial dan Kearifan Tradisional. (dipublikasikan pada http/antonsutrisno.webs.com/apps/ blog/show/6535250-eksistensi-subak-pada-daerah-eks-transmigrasi-di-kabupaten-bengkulu-utara)
Ar-Riza, Isdijanto, Nurul Fauziati dan Hidayat D.Noor. 2008. Kearifan Lokal Sumber Inovasi dalam Mewarnai Teknologi Budidaya Pada Lahan Rawa Lebak, Balai Penelitian Lahan Rawa Lebak.
http/goalterzoko.blogspot.com/2010/08/kearifan-lok...  Diunduh 12 Desember 2011.
Triyadi Sugeng, Iwan Sudradjat  dan Andi Harapan. 2010. Kearifan Lokal Pada Bangunan Rumah Vernakular Di Bengkulu Dalam Merespon Gempa Studi Kasus: Rumah Vernakular di Desa Duku Ulu, Local Wisdom Volume II Januari 2010.
Widiya, Mareta. 2011. Cuci Kampung. http/maretha-ringkasancucikampung.blogspot.com/  diunduh tanggal 19 Desember 2011.



Posting Komentar

6 Komentar

  1. Tahun berapa blog "kearifan lokal Bengkulu" ini dibuat Pak?

    BalasHapus
  2. terimakasih informasinya apakan ada Lowongan Kerja Lampung yang masih dibuka, yang kemarin ada bukaan loker cpns dan loker bumn karna saya mau resign dari jasa intro video karna sudah lama bekerja sebagai jasa edit video terimakasih pak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf saya tidak punya info loker, cari aja di jobstreet, atau info loker lainnya.

      Hapus

Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda