Oleh : Anton Sutrisno
Pendahuluan
Membahas
kearifan lokal yang ada di masyarakat Provinsi Bengkulu sebenarnya cukup
menarik, tetapi sayang masih terbatas dalam literatur yang ada.
Disamping itu kearifan lokal yang ada tidak terlalu menonjol sebagaimana
yang ada di daerah lain. Hal ini disebabkan dengan beragamnya suku yang
mendiami di daerah Bengkulu. Masing-masing suku memiliki tata cara
sendiri.
Dengan segala keterbatasan ini dicoba untuk disusun
tulisan ini. Sumber yang digali ada yang berdasarkan pengalaman dan
pengamatan langsung, ada juga yang berdasarkan literatur yang ada. Aspek
yang dibahas tidak hanya yang bersumber dari masyarakat asli bengkulu
saja, seperti suku rejang, serawai, pekal, akan tetapi dari suku luar
bengkulu yang sudah lama tinggal di Bengkulu dimana kearifan ini
seharusnya menajadi khasanah bengkulu, karena telah terjadi
metamorfosis dan penyesuaian dengan masyarakat lokal seperti subak yang
ada di Kecamatan Arga Makmur Bengkulu Utara.
Metode Penulisan
Metode yang digunakan pada penulisan ini adalah studi pustaka, yang
bersumber dari publikasi di internet, hasil penelitian. Sumber lain yang
diambil adalah cerita dari masyarakat dimana penulis berada, yaitu dari
masyarakat di sekitar kota Arga Makmur. Cerita ini diperoleh melalui
diskusi atau obrolan sederhana yang dicatat dan dikumpulkan bebeapa
waktu sebelumnya.
Kearifan 1. Proses Bercocok Tanam Adat Rejang
Panen padi menggunakan ketam |
Prosesi bercocok tanam pada ladang menurut hukum adat Rejang, dimulai dengan proses memilih tanah untuk berladang, membuka hutan dan ritual sebelum membuka hutan. Ritual dipimpin oleh seorang tetua adat (dukun), ritual berfungsi sebagai ungkapan permisi atau mohon izin kepada para leluhur nenek moyang untuk membuka tanah marga. Dalam bahasa Rejang ritual membuka hutan ini dinamakan kedurai ketan uban. Untuk mengetahui prosesi, subjek bercocok tanam ladang dan akibat apabila tidak melakukan prosesi upacara bercocok tanam menurut hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong.
Prosesi bercocok tanam di lading menurut hukum adat
Rejang di Kabupaten Lebong masih di pakai sampai sekarang dari tradisi
nenek moyang, dengan meyakini prosesi sebelum membuka ladang akan
terhindari dari segala hal yang tidak diingginkan.
Adapun yang
terlibat dalam prosesi bercocok tanam di ladang menurut hukum adat
Rejang di Kabupaten Lebong adalah untuk menjalankan prosesi bercocok
tanam di ladang dan yang dilibatkan atau untuk menjalankan prosesi itu
ialah dukun dan keluarga yang bersangkutan serta orang yang membantu
dalam membersihkan ladang tersebut.
Akibatnya bagi masyarakat
yang tidak melakukan prosesi bercocok tanam ladang menurut hukum adat
Rejang di Kabupaten Lebong yaitu biasanya mendapat kesulitan dalam
berladang ataupun mendapat musibah, seperti hasil tanamannya kurang
baik, diganggu makhluk halus. kegiatan prosesi sebelum berladang untuk
menghindari kejadian‐kejadian yang tidak di kehendaki.
Kearifan 2. Pemetaan Wilayah Hutan Adat Rejang dan Serawai
Sukku
Rejang memiliki kearifan dengan mengetahui zonasi hutan, mereka sudah
menentukan imbo lem (hutan dalam), imbo u'ai (hutan muda) dan pinggea
imbo (hutan pinggiran). Dengan zonasi yang mereka buat, maka ada
aturan-aturan tentang penanaman dan penebangan kayu. Hampir mirip dengan
Suku Rejang, Suku Serawai yang dikenal sebagai tipikal masyarakat
peladang telah mengembangkan kearifan lokal dalam pembukaan ladang yaitu
"celako humo" atau "cacat humo", dimana dalam pembukaan ladang mereka
melihat tanda-tanda alam dulu sebelum membuka ladang dimana ada tujuh
pantangan, ketujuh pantangan ini jika dilanggar salah satunya akan
berakibat alam dan penunggunya (makhluk gaib) akan marah dan menebar
penyakit. Tujuh pantangan tersebut yaitu:
- ulu tulung buntu, dilarang membuka ladang di hutan tempat mata air
- sepelancar perahu
- kijang ngulangi tai
- macan merunggu
- sepit panggang
- bapak menunggu anak
- dan nunggu sangkup
Kearifan 3. Pengolahan Lahan Rawa Untuk Usahatani Padi
Metode
pengolahan lahan rawa yang saya tuliskan ini sebenarnya hasil
pengamatan pada sekitar tahun 1985. Ketika itu sawah irigasi belum
banyak terbangun di daerah transmigrasi kurotidur kabupaten Bengkulu
Utara, yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi kecamatan Padang
Jaya.
Teknologi ini awalnya tidak menarik untuk di tulis karena
terkesan “malas” oleh warga dari jawa. Tetapi setelah belajar teknologi
pengolahan tanah minimum tillage dan juga no tillage, maka teknologi
tersebut menjadi benar. Pendorong untuk dimuat pada tugas ini adalah
adanya kesesuaiaan dengan hasil penelitian Isdijanto Ar-Riza, Nurul
Fauziati dan Hidayat D.Noor yang berjudul Kearifan Lokal Sumber Inovasi
dalam Mewarnai Teknologi Budidaya Pada Lahan Rawa Lebak, dari Balai
Penelitian Lahan Rawa Lebak.
Usaha tani pada lahan rawa lebak
sampai dengan saat ini belum ada teknologi yang mampu mengatasinya.
Menurut Ar Riza dkk. keberhasilan uhatani padi di lahan rawa lebak
sangat ditentukan oleh kondisi cuaca setempat dan wilayah sekitarnya
terutama daerah hulu, yang akan berpengaruh langsung pada kondisi air
rawa. Air rawa yang menyurut secara perlahan akan sangat memudahkan bagi
petani untuk menentukan saat tanam yang tepat, tetapi sebaliknya air
rawa yang menyurut berfluktuasi tidak teratur akibat curah hujan yang
sangat fluktuatif akan menyulitkan petani dalam menentukan saat tanam
yang tepat. Pemilihan lokasi dan penentuan saat tanam yang tidak tepat
utamanya untuk pertanaman padi surung akan membawa resiko gagal panen
akibat terkena cekaman redaman air akibat air rawa yang terus meninggi.
Teknologi
yang dapat dibilang menarik dan merupakan kearifan lokal dari
masyarakat Rejang pada saat itu. Teknologi lokal ini memberikan manfaat
yang sangat besar bagi kelestarian alam dan lingkungan. Tetapi saat ini
jarang sekali ditemui, masyarakat lebih suka menggunakan teknologi yang
dikatakan maju akan tetapi tidak ramah terhadap lingkungan. Kegiatan
Tanam yang merupakan teknologi kearifan lokal sebagai berikut:
1. Pemilihan lahan subur
Dalam
melaksanakan kegiatan usaha tani di lahan rawa, petani memilih lahan
tanjung atau lahan yang dekat dengan sungai, karena wilayah tersebut
selalu mendapat kiriman lumpur subur, yang ditandai warna tanah hitam
gembur, dan telah banyak ditumbuhi oleh jenis tubuhan air, seperti
Kiambang (Salvinia sp) Enceg gondok (Elchornia sp) dan tanda-tanda khas
lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kedua
jenis tumbuhan air tersebut tumbuh baik pada pH di atas 4, dan kurang
baik pada pH kurang dari 4. Selain itu transportasi dari tempat tinggal
ke sawah pulang pergi lebih mudah, terutama untuk kegiatan pengangkutan
hasil. Oleh karena itu hampir semua wilayah lahan lebak dangkal telah
diusahakan untuk pertanian.
Di Kabupaten Bengkulu Utara banyak
diusahakan diwilayah sepanjang sungai Air Palik, di Wilayah Aur Gading,
Kecamatan Kerkap, Desa Tanjung Agung di Kecamatan Air Besi, di
sebanjang Air Nokan dan Air Lais yang meliputi Desa Tebing Kaning, Taba
Tembilang, Karang Anyar di Kecamatan Arga Makmur hingga Kecamatan lais.
Masih banyak lagi sawah-sawah kecil yang berada di pinggir sungai
kecil.
Saat ini rawa tersebut telah diolah lebih teknis.
Pemerintah telah membantu dengan membangun bendung irigiasi, sehingga
karakter rawa lebaknya telah berubah menjadi sawah irigasi semi teknis
dan teknis. Jelasnya pada lokasi tersebut jauh lebih subur dibandingkan
dengan sawah yang telah tersentuh teknologi modern seperti di hamparan
sawah Kemumu.
2. Pola Tanam
Pola tanam, pada
awalnya padi-bera karena varitas yang ditanam adalah varitas dalam. Saat
ini pola tanam padi-padi-bera. Masyarakat telah banyak kehilangan padi
lokal dan digantikan dengan benih unggul nasional yang berumur pendek.
Akan tetapi dengan banyaknya program intensifikasi yang diintroduksikan
sebagian hamparan yang luas telah menerapkan pola tanam padi-padi-padi.
Pada areal ini agak kesulitan untuk merubah ke padi-padi-palawija. Musim
tanam diawali pada musim penghujan.
Pola tanam padi-padi-bera
masih diterapkan oleh masyakart di sepanjang sungai Air Lais. Hal ini
mengikuti umur padi yang relative pendek umurnya. Sehingga dapat tanam
padi 2 kali setahun.
Pola tanam ini disamping menyesuaikan musim,
juga ternyata efektif dalam perbaikan kesuburan tanah dan juga
pengendalian hama. Seperti pengalaman di Kabupaten Rejang Lebong yang
menanam padi dan diberakan atau digunakan untuk mina seperti ikan emas
lebih efektif. Penah pemerintah memperogramkan tanam padi pada musim
bera tersebut, ternyata petani tidak panen, karena serangan hama tikus
yang luar biasa.
Pola tanam ini merupakan kearifan lokal yang
mulai terkikis karena kepentingan mengejar produksi. Petani memberikan
kesempatan kepada tanah untuk memperbaiki dirinya, dengan dibiarkan
tumbuh rumput, dan juga proses pembusukan sisa-sisa batang padi.
Masa
bera ini biasanya bebarengan dengan musim lebaran idul fitri hingga
akhir lebaran haji. Pada masa ini banyak aktifitas yang dilakukan di
desa seperti kegiatan pernikahan.
Kondisi ekonomi masyarakat pada
masa bera ini tidak terganggu. Petani memiliki sumber pendapatan lain
yaitu karet. Sebuah pola diversifikasi yang menunjang ketahanan ekonomi
masyarakat. Sehingga pada masyakat pedesaan Rejang memiliki ketahanan
pangan. Sumber pangan tidak saja dari sawah tetapi juga pada ladang.
Ketika lahan kebun karet masih dapat ditanami padi, maka dibudidayakan
tanaman padi ladang. Sayangnya saat ini benih padi ladang juga mulai
kesulitan. Pernah penulis dimintai untuk mencari benih padi ladang,
ternyata untuk di Kecamatan Arga Makmur tidak tersedia, benih padi
ladang masih dapat diperoleh di Kecamatan Pematang Tiga dan juga daerah
Lebong Atas.
3. Persiapan Lahan
Lahan
dipersiapkan dengan cara menebas dengan menggunakan rimbe. Yaitu alat
tebas yang diayunkan seperti mencangkul, arah ayunan dari kanan ke kiri.
Penggunaan alat ini tidak ditemui lagi saat ini, telah kalah dengan
herbisida.
Penebasan dilakukan pada saat air rawa masih dalam.
Setelah di babat rumputnya dikumpulkan di pematang. Lahan yang bersih
dan terbuka tersebut memberi peluang berkembangnya tumbuhan air jenis
Kiambang atau Kai Apu (Salvinia mollesta) maupun Salvinia natan),
tumbuhan air yang mempunyai dua cara berkembang biak (stolon dan spora)
akan tubuh dan berkembang pesat menutup lahan.
Kearifan lokal ini
menimbulkan hamparan populasi Salvinia sp yang cukup luas dan tebal.
Hamparan tersebut turun ke permukaan tanah pada saat air mulai
mengering, dengan populasi yang rapat dan ketebalan bisa mencapai 15-20
cm. Kemudian petani menanam bibit padi di atas hamparan Salvinia
tersebut, tanaman akan tumbuh bagus dan Salvinia akan menjadi mulsa yang
efektif mengendalikan laju penguapan air tanah, pengendali gulma yang
efektif serta sebagai sumber tambahan nutrien.
Cara penebasan yang
lain adalah dengan membentuk arah jalur yang memanjang, atau berbentuk
cumpukan rumput hasil tebasan. Setelah kegitan tanam selesai, rumput
yang telah busuk hasil penebasan tersebut disebarkembali diatara barisan
tanam, sebagai mulsa/pupu organik. Sebuah kearifan lokal yang sekarang
diterapkan pada teknologi tanam padi metode SRI yang sedang popular.
Padahal, masyarakat di Bengkulu dan juga di Kalimantan telah melakukan
secara turun temurun.
Petani tidak melakukan pengolahan lahan
seperti mencangkul atau membajak tanah. Ternyata saat ini baru
dimengerti, bahwa teknologi tradisional ini lebih ramah terhadap
lingkungan. Cara ini tidak merusak struktur tanah rawa yang kebanyakan
merupakan lahan gambut. Tidak terjadi oksidasi yang meningkatkan
keasaman tanah dan juga tidak mengakibatkan lepasnya gas metan ke udara
dari kegiatan pengolahan tanah pada lahan gambut.
4. Kegiatan Bertanam
Ada
dua cara pada kegiatan bertanam padi, pertama dengan menggunakan
persemaian, kemudian dipindah tanamkan. Kedua tidak menggunakan
persemaian tetapi tanam benih langsung pada lahan dengan cara menugal
untuk rawa yang tidak terlalu dalam. Cara pertama yang lebih banyak
digunakan.
Memulai kegiatan bertanam pada petani di Kalimantan
memiliki poleh yang berbeda. Dalam melaksanakan budidaya padi rawa
lebak, petani akan memulai kerja di persawahan berdasarkan tanda-tanda
alam, diantaranya adalah jika diantara pepohohan (umumnya mangga rawa
atau rerawa) telah terlihat banyak bentangan sulur putih serangga, dan
pohon sejenis pohon dadap telah mulai berkembang, adalah satu pertanda
bahwa musim kemarau akan segera tiba. Sehingga para petani akan segera
mempersiapkan tempat persemaian, dan persiapan lahan. Sebaliknya jika di
sungai-sungai telah mulai kelihatan perkembangan ikan Seluang (Rasbora
agyrotaenia) satu jenis ikan kecil-kecil khas Kalimantan dan Sumatera,
adalah sebagai pertanda bahwa musim hujan akan segera tiba, sehingga
persiapan pertanaman padi sawah harus segera dimulai.
5. Populasi Tanam
Bertanam
padi di lahan lebak yang telah sangat eksis adalah menggunakan varietas
unggul lokal, yaitu varietas yang sudah beradaptasi sangat baik di
lahan lebak, karena sudah dibudidayakan sejak lama. Varietas ini umumnya
berumur dalam, dan tinggi tanaman umumnya 90cm-120 cm atau ada yang
lebih. Tinggi tanaman demikian karena disesuaikan dengan kondisi air,
utamanya untuk pertanaman musim hujan pada rawa dangkal. Varietas ini
mempunyai jumlah anakan maksimum yang tinggi 20-35 anakan/rumpun, dengan
tipe kanopi yang menyebar, sehingga tidak semua anakan berhasil
membentuk malai akibat tingginya respirasi sehingga net fotosintesa
rendah. Untuk mendapatkan hasil yang baik, masyarakat petani umumnya
telah memiliki pedoman untuk populasi per hektar, yang diterjemahkan
dalam jarak tanam yaitu yang dikenal sebagai sistem tanam ”sedepa
empat”, artinya dalam panjang sedepa yang eqivalen dengan 1,7 m
ditanaman bibit sebayak 4 rumpun, yang jika jaraknya segi empat sama
sisi maka populasi tanaman akan eqivalen dengan 55.363 rumpun /hektar.
Populasi ini telah dilaksanakan sangat lama dan turun temurun. Namun
dalam perkembangan pertanian di lahan lebak, populasi tersebut dinilai
kurang sehingga muncul program upaya khusus (UPSUS) sistem tanam ”sedapa
empat” diubah menjadi sistem tanam ”sedepa lima”, atau ”sedepa tambah
satu” dan yang terakhir diperkenalkan sistem tanam ”dua sembilan” yang
berarti dalam dua depa ditanam 9 rumpun. Populasi tanam tersebut memang
jarang tetapi mempunyai nilai ilmiah karena tunas anakan yang tinggi dan
dan krop kanopinya yang menyebar, sehingga ilmu tanaman ddalam aspek
distribusi sinar matahari dan bentuk tanaman sebenarnya telah dimiliki
dan diterapkan oleh petani lahan lebak sejak lama sekali. Hal tersebut
kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Indigenous knowledge,
local wisdom tersebut telah mengispirasi timbulnya ”sistem legowo” (lego
dan dowo), ”habas” (hawa bebas), dan lainnya yang telah berkembang
selama ini.
Kearifan 4. Subak di Kabupaten Bengkulu Utara
Ketika
mendengar kata Subak, banyangan yang terlintas pada benak kita adalah
Pulau Dewata Bali. Sistem pengaturan air secara tradisional yang sudah
berabad-abad lamanya, akan tetapi masih langgeng sampai dengan sekarang.
Diterapkan dalam pengaturan air untuk kegiatan pertanian di Pulau Bali.
Subak ini berkaitan erat dengan kegiatan keagamaan hindu dan aktivitas
pengelolaan air. Sehingga akan melekat erat dalam pengelolaan air dimana
ada orang yang beragama hindu bali melakukan kegiatan yang memanfaatkan
pertanian.
Membahas subak akan menjadi menarik untuk diamati
jika ternyata dapat tetap tumbuh di daerah yang jauh dari tempat
asalnya. Di Kabupaten Bengkulu Utara terdapat daerah transmigrasi yang
berasal dari Bali pada tahun 70 an. Desa Rama Agung mayoritas
penduduknya berasal dari Bali yang beragama Hindu. Desa Sumber Agung
hanya sebagian penduduk dari Bali, ada juga dari Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Keduanya berada di Kecamatan Arga Makmur, yaitu di Ibu Kota
Kabupaten Bengkulu Utara. Desa Rama Agung berada pada pusat Kota Arga
Makmur, sebagian perkantoran dan Rumah Dinas Pejabat Kabupaten ada di
sana. Sedangkan Desa Suber Agung masih berada di pinggiran kecamatan
berjarak sekitar 15 km dari pusat kota.
Saat ini di Desa Rama
Agung telah bercampur berbagai etnis dan agama. Masjid, Gereja, Pura dan
Vihara ada di sana dengan jarak yang berdekatan. Selain suku Bali, juga
terdapat jawa, batak dan juga masyarakat yang berasal dari sekitar Arga
Makmur. Letak rumah juga sudah berbaur, mudah untuk menandai masyarakat
Bali yaitu dengan adanya tempat sesaji yang dibangun di depan rumah.
Sementara untuk agama lain selain umat Hindu tidak ada bangunan ini.
Berbeda
di Desa sumber Agung, mereka masih mengelompok sesuai dengan penempatan
pada saat transmigrasi. Belum banyak pencampuran karena daerah ini
cukup jauh dari pusat kota. Jika sepintas dilihat di sana akan tampak
blok area Jawa, Sunda dan Bali dengan ciri khas pekarangan dan bentuk
rumah masing-masing. Pembauran di pemukiman tidak terlalu menonjol.
Menariknya,
meskipun sudah berbaur dan telah lama meninggalkan kampung halaman,
kegiatan Subak tetap dilestarikan. Anggota Subak tidak semuanya orang
Bali, siapapun yang memiliki lahan di areal tersebut. Bahkan ada salah
seorang ketuanya berasal dari suku Sunda dan beragama Islam.
Wilayah
kegiatan Subak ditentukan berdasarkan luasan areal yang dapat diairi
oleh bendung irigasi. Dalam satu bendung dibangun satu Bedugul sebagai
tempat pemujaan terhadap dewa Baruna yang memelihara dan menjaga air.
Bendung yang ada di daerah ini berasal dari sungai-sungai kecil yang
dibangun cek dam. Terdapat 3 subak di Kecamatan Arga Makmur. Subak Tirta
Gangga di Desa Sido Urip – Rama Agung, Subak Rama Dewata di Desa Rama
Agung, Subak Tripugar Baru di Desa Taba Tembilang. Kelompok Subak
terbesar adalah Subak Tirta Gangga.
Masing-masing Subak ini
dipimpin oleh seorang Klian Subak (ketua/imam). Klian ini yang
menetapkan kapan mulai tanam. Biasanya pada awal tanam dilakukan
pembersihan saluran irigasi dan juga pengecekan bendungan. Kegiatan ini
dilakukan secara bergotong royong sesama anggota subak. Gotong royong
dikoordinir oleh Ulu-ulu, yang juga bertugas mengatur air. Pembagian air
ditentukan berdasarkan luasan lahan yang dimiliki oleh anggota.
Perbedaan dengan di Bali, Klian tidak mengatur pola tanam dan pergiliran
tanaman, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil, karena
pengaturan pola tanam telah ditetapkan oleh Dinas Pertanian dan Dinas
PU Kabupaten Bengkulu Utara.
Pada tahun 1983 kelompok subak ini di
bina oleh PU Pengairan Kabupaten Bengkulu Utara, sehingga nama kelompok
ini dirubah menjadi KP2A (Kelompok Petani Pemakai Air), Peran strategis
pengaturan air dipegang oleh Ketua KP2A dan pengurusnya, sedang
pembagian air masih dilakukan oleh Ulu-ulu. Peran Klian menjadi tidak
terlalu dominan, hanya memimpin upacara keagamaan saja. Dampak dan
pengaruh Subak tidak seperti yang digambarkan di atas. Kearifan lokal
yang mampu mengedalikan hama dengan pengaturan pola tanam telah
terdistorsi oleh kebijakan ini.
Dinamika Organisasi Subak
Tahun
2007 – 2008 penulis melakukan pendampingan terhadap kelompok tani yang
ada di Bengkulu Utara, salah satunya kelompok Subak melalui Organisasi
Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera (PPNSI). Sebuah lembaga yang
mengadvokasi kepentingan petani dan memfasilitasi akses kelompok tani
terhadap program-program Departemen Pertanian.
Kelompok Subak
Tirta Gangga difasilitasi sehingga dapat mengakses program LM3 (Lembaga
Mandiri Mengakar di Masyarakat) dari Departemen Pertanian. Klian Subak
Tirta Gangga adalah Wayan Pageh, jabatannya juga merangkap sebagai
Bendahara pada Kelompok Tani Tirta Gangga yang juga KP2A Tirga Gangga.
Sedangkan ketua kelompoknya adalah seorang dari Suku Sunda yaitu Edi
Suryadi yang lebih dikenal dengan nama Mang Edi, seorang buta huruf
tetapi jujur dan amanah sehingga dipercaya oleh masyarakat untuk
memimpin kelompok tani sekaligus KP2A.
Kelompok Subak lainnya
adalah Subak Rama Dewata yang dipimpin oleh Wayan Balik, dia juga
merangkap sebagai ketua kelompok tani dan juga klian subak. Fasilitasi
PPNSI hingga memperoleh Bantuan sosial dari Menteri Pertanian sebanyak
10 ekor sapi PO. Pada kelompok ini kegiatan subak juga hanya kegiatan
yang berkaitan dengan keagamaan saja, pembagian air lebih didominasi
oleh KP2A yang tugasnya dilakukan oleh ulu-ulu.
Ada beberapa
kesepakatan kelompok yang penulis tidak temukan pada kelompok lain yang
bukan kelompok subak, berkaitan dengan hak pemakai air dan juga sanksi.
Penulis pernah betugas sebagai penyuluh pada Desa Sido Urip tidak
menemukan kesepakatan yang demikian. Desa Sido Urip merupakan desa yang
berbatasan dengan Rama Agung, yaitu di Dusun Suka Sari dimana Subak
Tirta Gangga. Oleh karena itu sementara saya menilai bahwa kesepakatan
tersebut merupakan warisan subak.
Berdasarkan pengamatan di
lapangan, kelompok subak ini lebih tertib dan taat terhadap jadwal
pertemuan, dibanding dengan kelompok tani lainnya. Pertemuan dilakukan
setiap bulan sekali pada tanggal tertentu yang telah disepakati. Pada
pertemuan ini biasanya membahas permasalahan anggotanya terutama dalam
pembagian air ulu-ulu, pembayaran iuran bulanan dan juga kegiatan simpan
pinjam yang memanfaatkan kas kelompok. Peserta yang mengikuti pertemuan
ini adalah semua petani dalam satu hamparan yang terkena saluran air
dalam wilayah subak. Tidak terbatas sehingga tidak memandang agama,
kepercayaan atau suku tertentu. Ini berbeda dengan kelompok tani lain,
yang pertemuannya bila ada bantuan atau memang diminta oleh penyuluh.
Pada kelompok Subak ini penyuluh atau petugas dari Dinas Pertanian harus
menyesuaikan jadwal mereka untuk dapat bertemu dengan anggota kelompok
secara keseluruhan.
Pembagian air ditetapkan berdasarkan berapa
polong yang dibutuhkan. Polong merupakan istilah pipa atau saluran dari
irigasi ke lahan. Banyaknya polong menggambarkan debit air yang
dibutuhkan. Ditentukan berdasarkan luasan lahannya atau pemanfaatanya.
Sebagai contoh jika seorang anggota subak memanfaatkan air untuk kolam
satu petak, biasanya kebutuhan airnya dua polong yang setara dengan luas
sawah 5 petak. Jumlah polong juga akan menentukan kewajibannya dalam
membayar iuran bulanan kelompok.
Jika terjadi kerusakan atau
pemeliharaan rutin, maka dilakukan gotong royong memperbaiki bendungan
dan saluran irigasi. Kerusakan sering terjadi seperti tanggul yang
jebol, tanah longsor atau pohon tumbang yang menutup saluran irigasi.
Kesepakatan gotong royong ini ditetapkan oleh ketua KP2A atau ulu-ulu.
Apabila ada yang tidak dapat hadir maka terkena denda. Kewajiban gotong
royong ini ditetapkan berdasarkan polong volume air. Jika anggota
kelompok ini memiliki dua hamparan lahan sawah, maka dia harus
mengirimkan 2 orang yang ikut gotong royong. Biasanya bapak dan anak
ikut gotong royong. Jika tidak mampu, maka dia harus membayar denda
(ngampel). Pembayaran denda ini (ngampel) juga berlaku pada orang yang
sudah tidak mampu lagi bekerja berat, seperti sudah tua atau janda.
Ngampel ini merupakan sejumlah pembayaran atas manfaat air selama satu
tahun, yang pembayaran selama tiga bulanan (mengikuti panen). Ngampel
bukan denda atas ketidakhadiran gotong royong.
Berkaitan dengan
penerapan hak dan juga sanksi, apakah itu denda atau ngampel biasanya
sering terjadi perdebatan yang cukup sengit. Jika sanksi yang diberikan
tidak diperhatikan, maka resikonya dapat dikeluarkan dari kelompok. Pada
saat ini seorang klian menjadi penengah dan pemutus perselisihan.
Selama ini keputusan dari seorang klian subak akan ditaati oleh semua
anggota. Karena mereka percaya akan mendapatkan balak, atau karma pala
akibat penentangan itu.
Anggota kelompok subak dapat tidak
berpartisipasi (tidak aktif) pada kegiatan berkaitan dengan gotong
royong perbaikan saluran air, jika sedang mananam palawija. Akan tetapi
tetap membayar kewajiban iuran bulanan kelompok. Dia tetap berhak untuk
ikut kegiatan simpan pinjam yang ada dikelompok. Jika sudah bersawah
lagi maka dapat bergabung sebagaimana biasanya.
Kearifan 5. Adat Cuci Kampung
Cuci
kampung merupakan upacara ritual tolak balak yang bertujuan agar semua
warga kampung terhindar dari bencana. Dalam kehidupan sehari-hari
upacara cuci kampung sering ditemukan ketika ada salah seorang warga
kedapatan berbuat aib berupa perzinahan di suatu kampung. Cuci kampung
merupakan acara ritual tolak balak yang bertujuan agar semua warga
kampung terhindar dari bencana.
Dalam kehidupan sehari-hari acara
cuci kampung sering kita temukan ketika ada salah seorang warga kampung
kedapatan sedang berbuat aib di kampung tersebut, terutama aib di
kampung tersebut, terutama aib yang berbau perzinahan.
Cuci
kampung yang marak dewasa ini dianggap masyarakat desa untuk upaya
melestarikan adat, akan tetapi jika kita pahami orang yang terkena adat
cuci kampung ini sangat berdampak negatif bagi kehidupan sosialnya,
karena menyebarkan aibnya sendiri begitu juga dengan warga desa yang
melaksanakan adat cuci kampung tersebut akan menjadi malu jika dilihat
warga desa lain.
Poses cuci kampung ini tidak lagi berjalan sebagai mana dulu, saat ini telah mengalami penurunan. Ada beberapa hal penyebabnya:
• Banyaknya masyarakat pendatang yang tidak tahu tentang peraturan dan hukum adat yang berlaku disuatu desa.
• Rendahnya kesadaran hukum masyarakat suatu tempat
• Pelaku telah melarikan diri atau pergi dari tempat tinggalnya
• Adanya ancaman dari pelaku sehingga perangkat desa tidak berani untuk menjatuhkan hukuman atau sanksi.
•
Kurangnya sosialisasi dari perangkat desa akan batasan hukum adat yang
berlaku, sehingga masyarakat setempat tidak mengetahui batasan hukum
adat yang berlaku tersebut.
• Sudah terlau seringnya
pelanggaran adat tersebut, sehingga menjadi hal yang biasa.
Masyarakat
tidak lagi mengganggap perbuatan yang mendekati perzinaan sebagai aib
yang akan mendatangkan malapetaka bagi desa tersebut.
Baca Juga :
- Penyebab Punahnya Kearifan Lokal
- Kearifan Lokal Dapat Menyelamatkan Bumi
- Contoh Perubahan Sosial dalam Pengelolaan SDA/Lingkungan
Kearifan 6. Teknologi Rumah Tradisional Bengkulu yang tahan Gempa.
Ternyata
rumah yang dibangun oleh masyarakat Bengkulu yang merupakan rumah
panggung yang dominan struktur kayu. Rumah tahan gempa dengan teknologi
yang luar biasa. Tulisan ini saya kutipkan dari hasil penelitian Triyadi
dkk. (2010) tentang Bangunan Rumah Vernakular Bengkulu dalam merespon
gempa. Penelitian dilakukan di Desa Duku Ulu Kecamatan Curup Timur
Kabupaten Rejang Lebong. Penelitian ini dilatarbelakangi dengan mampu
bertahannya rumah tradisional Bengkulu terhadap gangguan gempa pada
tahun 2000 dan 2007 lalu. Sehingga diharapkan teknologi ini dapat
dilestarikan dan dapat dimasukkan dalam desain pembangunan rumah di
Provinsi Bengkulu.
Rumah tradisional Bengkulu yang mendasari
munculnya bangunan rumah vernakular Bengkulu pada prinsipnya ada 2 (dua)
macam, yaitu rumah vernakular Rejang dan Rumah vernakular Melayu.
Rumah vernakular Rejang yang berasal atau bersumber dari rumah
tradisional Rejang (Umeak Potong Jang atau Umeakan) yang sudah
dipengaruhi oleh bentuk rumah Meranjat (bentuk rumah suku bangsa yang
ada di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan).
Ukuran rumah
vernakular Rejang di Desa Duku Ulu rata-rata mempunyai lebar 6 – 7 m
dan panjang 15 – 17 m, berbentuk empat persegi panjang, dengan pembagian
ruang dalam yang teratur. Lantai bangunan panggung yang tingginya
rata-rata 2,20 m (ruang bawah lantai panggung dapat dilalui orang tanpa
perlu membungkuk). Bangunan vernakular ini menggunakan material kayu
setempat (kayu medang kuning, medang batu, balam, dll) dan beberapa
tambahan bagian bangunan menggunakan bambu (bambu serik, bambu menyan,
bambu dabuk) untuk lantai bangunannya. Lantai bangunan ditopang oleh
kolom atau tiang-tiang dari balok kayu (kayu bulat Ø 40 cm atau kayu
20/20) dan tiang diatas lantai panggung keatas berukuran 10/10 cm.
Dinding bangunan dibuat dari papan kayu yang tebalnya ±2 cm. Untuk
penutup atap menggunakan seng.
Gambar Rumah Vernakular Rejang.
Semua
sistem sambungan komponen-komponen struktur bangunan dan konstruksi
bangunan menggunakan sistem sambungan papurus, laki-betina
(betino-lanang), tidak menggunakan paku (kecuali pada penutup lantai dan
sebagian dinding) tetapi memakai pasak dari kayu atau bambu. Dinding
menggunakan papan kayu yang dijepit atas bawah dan pada bagoan tertentu,
seperti bagian dapur sudah menggunakan paku.
Sistim sambungan kayu dengan metode jepit.
Pondasi
bangunan rumah vernakular Rejang di Desa Duku Ulu berbentuk umpak dari
batu, pasangan bata, dan malah beberapa tiang panggung telah dirubah
menjadi kolom beton atau pilar bata, bila terjadi gempa cukup kuat
mengingat dimensi yang dipakai cukup besar. Demikian pula hubungan
antara pondasi/ kolom panggung dan balok lantai merupakan tumpuan sendi,
sehingga bila terjadi gempa lantai bangunan fleksibel bergerak sehingga
bangunan secara keseluruhan tidak rusak.
Lantai bangunan
merupakan sistem struktur yang menyatu dengan tiang-tiang bangunan yang
tidak ada kaitan langsung dengan tiang panggung (tidak menerus dari
tiang panggung menjadi tiang bangunan di lantai atas). Rangka lantai
berhubungan langsung dengan kolom utama bangunan, balok-balok rangka
dinding. Demikian pula dinding dan kolom utama akan pertemuan dengan
rangka langit-langit dengan langit-langitnya dan sistem atap bangunan.
Material
bangunan yang digunakan pada rumah vernakular Bengkulu Rejang di Desa
Duku Ulu menggunakan material utama kayu, baik kayu yang masih berbentuk
balok/ gelondongan ataupun yang sudah digergaji. Untuk penutup atap
menggunakan material yang ringan pula yaitu bahan seng.
Pemakaian
material kayu dan penutup atap seng menjadikan bangunan ini bangunan
ringan, sehingga bila terjadi gempa bangunan hanya bergoyang dan tidak
roboh. Pemilihan material dan metode pemasangannya pada bangunan ini
merupakan indigenous knowledge yang tepat untuk mengantisipasi bencana
gempa di daerah Bengkulu ini.
Kearifan 7. Hukum Sumber Cayo
Hukum
sumber cayo yang banyak diterapkan di Bengkulu, mulai dari suku Rejang,
Serawai hingga pekal yang ada di sekitar Ketahun, Napal Putih dan
Mukomuko, yaitu tentang persoalan penggembalaan ternak dan juga
pemeliharaan kebun. Kita tentunya sering mendengar salah satu dari hukum
sumber cayo yaitu “Kebun Berkandang Siang dan Ternak Berkandang Malam”.
Pada tahun 80 an, hukum ini sering menjadi pemicu konflik antara
penduduk transmigrasi dan non transmigrasi.
Implementasi dari
hukum ini adalah bagi pemilik ternak, wajib membuat kandang dan
mengkandangkan ternaknya pada malam hari. Demikian juga pemilik kebun
wajib membangun kandang (pagar) yang melindungi dari gangguan ternak
pada siang hari. Tuntutan kepada pemilik ternak adalah apabila kerusakan
tanaman di kebun terjadi pada malam hari, maka pemilik ternak terkena
ganti rugi akibat perbuatan hewan peliharaannya. Akan tetapi jika
kerusakan yang ditimbulkan pada siang hari, maka pemilik kebun tidak
dapat menuntut ganti rugi, karena dia berkewajiban untuk menjaga
kebunnya dan juga memagarnya.
Hukum ini sekarang mulai tidak
dipergunakan, seiring dengan perubahan pola kebun masyarakat. Karet alam
sudah berganti dengan karet unggul, perkebunan sawit. Disamping itu
juga telah diberlakukannya Peraturan Daerah berkaitan dengan kewajiban
mengandangkan ternak, sehingga ternak tidak boleh berkeliaran di jalan
yang membahayakan pengguna jalan.
Menurut tokoh masyarakat pekal,
Jamari AS Jamal (hasil obrolan singkat penulis dengan beliau) mengapa
hukum sumber cayo disahkan oleh Belanda, tidak lain karena menguntungkan
belanda dan elit masyarakat pada saat itu. Pemilik kerbau yang
jumlahnya hingga ratusan adalah para pesirah dan bangsawan yang tunduk
dengan Belanda. Sementara itu masyarakat biasa kebanyakan adalah petani.
Beban berat petani menjaga kebunnya, apabila dirusak oleh ternak para
pesirah dan bangsawan maka tidak dapat mengajukan tuntutan.
Pengalaman
penulis ketika melakuan penyuluhan tentang optimalisasi pemanfaatan
ternak, selain untuk peliharaan atau tabungan ternak juga menghasilkan
kotoran yang dapat diolah menjadi pupuk. Ternyata pada suatu desa yang
banyak ternak kesulitan untuk mengumpulkan kotoran ternak. Padahal
ternak sudah di kandang. Rupanya ada perbedaan persepsi masyarakat
tentang kandang yang penulis maksudkan. Kandang menurut mereka adalah
pagar yang melingkari lokasi ternak sehingga tidak dapat berkeliaran.
Seperti pagar keliling pada lokasi kebun. Persepsi penulis kandang
adalah bangunan yang beratap dan ada pembatas ruang antar ternaknya
sehingga tidak saling mengganggu. Bentuk ini menurut mereka adalah
rumah, sehingga disepakati istilahnya bukan kandang tetapi rumah ternak.
Kendala
ketika ternak dirumahkan adalah pemiliknya harus menyediakan pakan. Ini
yang tidak dapat dilakukan oleh masyakarat, karena mereka menganggap
tindakan itu adalah diperbudak oleh hewan. Sehingga ternak dirumahkan
tidak efektif berjalan, akhirnya harus dijual. Populasi ternak
bergantung dengan luasan lahan gembalaan, gembala dalam arti tetap
diikat beberapa jam kemudian dipindahkan tempat mengikat pada lokasi
rumput yang baik. Karena lokasi ini semakin lama semakin berkurang, maka
ternaknya diputuskan untuk dijual.
Pemeliharaan ternak dengan
cara berkandang malam, dan siang diangon (diikat pada lahan berumput)
tetap bertahan pada masyarakat yang sudah beradaptasi dengan pola
memelihara ternak pada masyarkaat transmigrasi yang terbiasa menyabit
rumput untuk pakan ternaknya di malam hari.
Kearifan 8. Senamo itu bersaudara
Kesamaan
nama, baik nama lengkap maupun nama panggilan, pada suku Rejang di
Kabuapten Bengkulu Utara menjadi dipersaudarakan. Ketika seseorang
berjumpa dengan orang yang namanya sama, maka diteruskan dengan upacara
atau doa selamat untuk menyatakan persaudaraan tersebut. Persudaraan ini
tidak saja peda kedua orang tersebut, akan tetapi juga menyangkut
keluarga kedua belah pihak. Sehingga apabila ada kerja baik maupaun ada
kerja buruk dari kedua belah pihak maka diterapkan sebagaimana layaknya
keluarga dekat.
Hal ini juga terjadi apabila seorang bapak
memiliki anak dan nama anak tersebut sama dengan nama anak orang lain,
maka dipersaudarakan. Seolah anak tersebut menjadi anak angkatnya.
Simbol persudaraan ini juga melekat pada sebutan atau panggilan.
Anak-anaknya akan memanggil bapak pada orang yang senama dengan orang
tuanya.
Ada suatu peristiwa yang menarik, pada tahun 1999, di Desa
Lubuk Balam Kecamatan Air Besi Kabupaten Bengkulu Utara, ada seorang
Bapak yang bernama Pak Nuh, enggan untuk mengikuti pertemuan dengan
Wakil Bupati Bengkulu Utara Drs. Salamun Haris di Balai Desa pada suatu
acara resmi. Padahal Pak Nuh merupakan tokoh masyarakat didesa tersebut.
Tidak ada tokoh masyarakat yang tidak hadir, apalagi ini merupakan
pertemuan yang penting.
Ketika ditanya alasan ketidak hadiran,
alasannya terdengar sepele dan menggelikan. Kata pak Nuh, anak ku
bernama Salamun, saya tidak sanggup memanggil Bapak pada anakku. Warga
akhirnya menjadi maklum.
Kearifan 9. Telun dan Mak Somai
Telun
atau air terjun juga di larang untuk di kelola oleh warga komunitas
disekitanya karena dipercayai adanya pengaruh gaib di sekitar wilayah
tersebut. Telun dan air terjun merupakan daerah larangan karena terdapat
sumber mata air yang harus dijaga.
Penebangan Pohon Madu yang
disebut dengan Sialang adalah pantangan berat untuk ditebang, jika
ditebang akan dikenakan denda setengah bangun atau setengah dari denda
membunuh orang, begitu juga dengan menebang pohon-pohon di sekitar pohon
sialang dianggap juga sebagai pantangan adat, sialang dianggap sebagai
hak komunal dan ketika panen maka biasanya diketahui oleh seluruh
masyarakat komunitas dan ada bagian tertentu dari hasil panen yang tidak
boleh diambil dan dibiarkan tinggal di sekitar pohon karena dianggap
itu adalah hak penunggu gaib dari pohon, proses panennya pun diiringi
oleh nyayian-nyayian pujian baik pujian terhadap kayu maupun pujian
terhadap penunggunya.
Selain pengaruh gaib juga ada penunggu yang
disebut dengan Mak Somai yang mengawasi kawasan tersebut. Mak Somai
merupakan harimau jadian yang dipercaya sebagai penunggu di wilayah
tesebut.
Inilah bentuk kearifan lokal dalam rangka menjada pohon
dan daerah konservasi, seperti daerah mata air dan air terjun yang
sangat bermanfaat bagi kelestarian hutan. Cerita gaib, dan juga cerita
legenda sangat efektif pada jaman dahulu untuk menjaga wilayah tersebut.
Tuah cerita tersebut sekarang sudah mulai luntur. Seiring berkembangnya
pengetahuan yang dirasakan oleh generasi masasyarakat di areal
tersebut. Kuatnya dorongan ekonomi yang harus membuka hutan untuk
kegiatan usaha, juga akan semakin menurunkan kesakralan cerita tersebut.
Penyadaran
yang memiliki maksud yang sama perlu disampaikan kepada masyarkat.
Hukum adat sebaiknya tetap diterapkan dengan pendekatan yang lebih
modern dan rasional. Kelestarian pohon langka, dan juga sumber mata air
menjadi prioritan utama. Pendekatan kepada pemuda setampat, untuk
perduli terhadap potensi alam. Penyadaran bahwa penduduk sangat
bergantung hidupnya dengan alam sekitar. Peran pemerintah adalah
menmbuat kebijakan yang sejalan dan selaras dengan semangat tersebut.
Kearifan 10. Adat Rejang dalam Pengelolaan Hutan
Suku
Rejang yang mendiami daerah penggunungan yang saat ini berada pada
kawasan Kabupaten Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang dan Bengkulu Tengah.
Meskipun ada juga suku rejang yang berada di daearh pesisir di Kabupaten
Bengkulu Utara mulai dari Kerkap hingga Serangai.
Suku rejang
yang di pengunungan, hidup mereka sangat bergantung dengan hasil hutan.
Secara turun temurun banyak kearifan lokal yang menjadi anutan
masyarakat tersebut. Beberapa kearifan lokal dalam pengelolaan hutan
adalah sebagai berikut:
• Taneak Tanai, adalah sebutan untuk
hamparan tanah dalam lingkup komunitas adat yang dimiliki secara komunal
dan biasanya adalah bagian wilayah kelola warga, ada konsewensi atas
kepemilikan individu di wilayah taneak
• tanai dimana setiap
pihak yang mengelola di kawasan tertentu di dalam taneak tanai wajib
untuk menanam tanaman-tamanan keras yang bernilai konservasi dan ekonomi
seperti petai, durian dll sebagai tanda wilayah tersebut telah dimiliki
oleh seseorang dan keluarga tertentu.
• Utan atau Imbo Piadan,
ini penyebutan untuk hutan yang dipercayai ada penunggu gaib sehingga
ada beberapa prasyarat untuk membuka kawasan ini jarang ada warga yang
berani membuka hutan larangan ini, kawasan yang dipercayai mempunyai
kekuatan gaib yang memelihara kawasan tersebut
• Keduruai
adalah salah satu tradisi yang dipercayai sebagai wadah komunikasi
antara manusia dengan kekuatan gaib, ada beberapa jenis kedurai yang
sering dilakukan oleh masyarakat di Jurukalang, kedurai untuk membuka
lahan perkebunan di hutan di suatu wilayah tertentu adalah proses
permintaan izin dan keselamatan bagi yang mengelolanya, Kedurai Agung
biasanya dilakukan ketika ada teguran oleh alam gaib dalam bentuk Bumai
Panes, proses Kedurai ini dilakukan oleh dukun yang disebut dengan
Pawang, sarana-sarana lain yang harus dipersipakan juga dalam proses ini
adalah anyaman bambu untuk dibuat acak, yaitu wadah untuk sesajen.
Sesajen untuk ritual itu meliputi darah ayam (monok bae) yang disimpan
di mangkok, minyak goreng, minyak manis, sirih matang, sirih mentah, 99
jeruk nipis, 99 batang rokok, serta tiga jenis bunga (mawar, cempaka
gading, dan cepiring). Bahan lainnya yang juga dipergunakan untuk ritual
itu antara lain 198 butir beras kunyit, kue tepung beras (sabai),
benang tiga warna (putih, merah, dan hitam).
• Mengeges adalah
kebiasaan masyarakat di Jurukalang membersihkan lahan garapannya dengan
dibakar, mengeges ini sebenarnya untuk mencegah jangan sampai api
tersebut melalap kemana-mana, dalam proses pembakaran lahan biasanya
dilakukan secara gotong royong
• Ali bilai adalah penyebutan gotong royong dalam menyelesaikan salah satu pekerjaan warga secara bergiliran
•
Bo atau Silo adalah sejenis tanda larangan atau tanda hendak memiliki
hasil hutan yang masih belum menghasilkan, yaitu sebatang bamboo yang
ditusukkan ke tanah yang bagian atasnya dipecah dua dan di antara
pecahanitu disempitkan sebatang bamboo lain
• Sakea tanah
garapan yang telah membentuk hutan kembali, biasanya masyarakat di
Jurukalang kembali ke Sakea ketika tanah garapannya tidak subur, ini
sering disebut dengan gilir balik dan pihak luar yang menganggap
sebagai masyarakat adat sering menyebut ini dengan peladang berpindah
•
Jamai keadaan tanah yang ditingalkan sesudah menuai atau keadaan tanah
yang telah diusahakan dan disengaja ditinggalkan supaya menjadi hutan
kembali
• Meniken adalah kegiatan ritual atau kenduri untuk
pembukaan lahan yang akan dibuka untuk dijadikan ladang atau lahan
garapan
• Selain beberapa kearifan lokal dalam mengelola
keberlanjutan lingkungan marganya, ada beberapa larangan lain, kayu yang
jika ditebang kemudian membentuk jembatan di dua sisi mata air kedua
sisi tersebut dilarang untuk digarap, ada kepercayaan local yang jika di
garap akan menimbulkan bahaya dan bencana bagi pemiliknya, dalam system
konservasi modern kedua sisi in disebut dengan sempadan sungai. Begitu
juga dengan lahan yang ketika kayu-kayunya ditebang akan meluncur jauh
akibat lerengan yang terjal juga di larang untuk digarap.
Baca Juga :
- Penyebab Punahnya Kearifan Lokal
- Kearifan Lokal Dapat Menyelamatkan Bumi
- Contoh Perubahan Sosial dalam Pengelolaan SDA/Lingkungan
Referensi
Akar Foundation, 2011. Kearifan Lokal Suku Rejang Jurukalang dalam Tata Kelola Hutan, http/satuportal.net/content/kearifan-lokal-suku-rejang-jurukalang-dala...
Andesti,
Mery Yono, dan Adry, 2009. Prosesi Bercocok Tanam di Ladang Menurut
Hukum Adat Rejang di Kecamatan Rimbo Pengadang Kabupaten Lebong. (Tidak
di publikasikan)
Anton Sutrisno, 2011, Eksistensi Subak di Daerah
Transmigrasi Kabupaten Bengkulu Utara, tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial
dan Kearifan Tradisional. (dipublikasikan pada http/antonsutrisno.webs.com/apps/ blog/show/6535250-eksistensi-subak-pada-daerah-eks-transmigrasi-di-kabupaten-bengkulu-utara)
Ar-Riza,
Isdijanto, Nurul Fauziati dan Hidayat D.Noor. 2008. Kearifan Lokal
Sumber Inovasi dalam Mewarnai Teknologi Budidaya Pada Lahan Rawa Lebak,
Balai Penelitian Lahan Rawa Lebak.
http/goalterzoko.blogspot.com/2010/08/kearifan-lok... Diunduh 12 Desember 2011.
Triyadi
Sugeng, Iwan Sudradjat dan Andi Harapan. 2010. Kearifan Lokal Pada
Bangunan Rumah Vernakular Di Bengkulu Dalam Merespon Gempa Studi Kasus:
Rumah Vernakular di Desa Duku Ulu, Local Wisdom Volume II Januari 2010.
Widiya, Mareta. 2011. Cuci Kampung. http/maretha-ringkasancucikampung.blogspot.com/ diunduh tanggal 19 Desember 2011.
6 Komentar
Tahun berapa blog "kearifan lokal Bengkulu" ini dibuat Pak?
BalasHapusSaya tulis pada tahun 2012
Hapusterimakasih informasinya apakan ada Lowongan Kerja Lampung yang masih dibuka, yang kemarin ada bukaan loker cpns dan loker bumn karna saya mau resign dari jasa intro video karna sudah lama bekerja sebagai jasa edit video terimakasih pak.
BalasHapusmaaf saya tidak punya info loker, cari aja di jobstreet, atau info loker lainnya.
Hapusgood job, don't forget to come to me apk modium
BalasHapusit'ok, thank you
HapusTerima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda