Oleh Anton Sutrisno,
SP.
Tanaman Cabe Berpotensi Organik |
Sejak tahun 2010 telah dicanangkan sebagai Indonesia go Organik.
Pertanyaanya apakah masyarakat siap untuk berperan serta? Bagaimana dengan
petani? Apakah sebagai pelaku atau menjadi pasar yang empuk dalam sistim ini.
Hal ini penting, karena menyangkut kesejahteraan mereka, jangka pendek maupun
jangka panjang. Sementara ini terlihat adalah, petani membeli pupuk organik
yang diproduksi pabrik, sementara dia memiliki bahan baku pupuk organik
tersebut, bahkan dibuang-buang. Pembahasan ini mencoba mengangkat persepsi,
yang tertangkap di tingkat petani. Selama ini tida tersentuh atau terjamah
dalam proses adopsi teknologi.
Bagaimanapun, keberhasilan
pembangunan pertanian di masa lalu masih dirasakan oleh petani. Pemahaman
pertanian maju dengan sekian banyak asupan teknologi dengan serba tinggi penuh
dengan kimiawi. Sehingga apabila ada usaha tani yang belum menerapkan paket
teknologi yang penuh mekanik dan kimia, dibilang sebagai usaha tani tradisional
dan terbelakang. Input teknologi yang hanya memanfaatkan bahan lokal, masih
dianggap sebagai usaha tani yang
terbelakang. Inilah salah satu keberhasilan revolusi hijau masa lalu
yang tertanam dalam pola pikir petani saat ini. Mungkinkah penanaman konsep ini
dapat diterapkan pada pertanian organik.
Penerapan pertanian organik menjadi
keniscayaan, Kebutuhan makanan sehat telah menjadi prioritas utama. Terutama
sekali pada produk pertanian segar. Tetapi sampai dengan saat ini sebuah
tindakan paradoksal masih saja terjadi. Manusia mendambakan hidup sehat, akan
tetapi masih memilih tanaman yang hampir setiap hari disirami racun. Ulatpun
tak sanggup untuk memakannya. Tetapi kita masih sering mengkonsumasinya. Kita
sering mendengungkan kelestarian lingkungan, akan tetapi dalam mengolah lahan
produksi pangan dengan mematikan semua tanaman. Sehingga cacingpun tidak lagi
mampu untuk bertahan. Padahal cacing adalah makhluk pengurai dan penyubur
tanah. Kita masih bangga dengan pupuk yang kita produksi. Seolah teknologi yang
tidak terkalahkan.
Pada sebagian tempat mulai tumbuh
kesadaran untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan. Memandang tanaman
sebagaimana yang dia inginkan. Pada padi sawah mulai ramai diujiterap metode
usaha tani SRI (System Rice Intensification). Dengan menghargai padi sebagai
tanaman rumput-rumputan yang butuh air tetapi bukan tanaman air. Hasilnya luar
biasa.
Disebagian lain lagi mulai
memanfaatkan limbah ternak, sehingga mulai dikenal dengan pupuk urine sapi,
bokashi, burcikam (bubur cirik kambing). Pengolahan limbah kelapa sawit sebagai
pupuk cair dan pupuk padat. Berikut deretan pengembangan pupuk organik yang
diusahakan swadaya petani atau kolektif oleh komunitas yang peduli petani.
Pertanyaannya apakah petani berperan
disana atau hanya pasar baru bagi produsen pupuk organik? Mungkin iya, mungkin
juga tidak, atau mungkin sebagian demikian. Kalo ini terjadi, saya sungguh
merasa sedih. Potensi yang ada disekitar petani masih melumpuhkan
keberdayaannya. Gerakan go organik hanya perubahan produk saja yang muaranya
semua biaya harus ditanggung oleh petani. Selamanya tidak akan terjadi
peningkatan ekonomi, eleh-eleh bicara kesejahteraan.
Pasar Produk Organik
Produsen Pupuk Organik |
Kondisi yang demikian tidaklah mampu
diatasi oleh petani. Harus ada pihak lain, baik pemerintah maupun pengusaha
yang bisa menampung produk organik. Peran pertama adalah pemerintah yang
mengkampayekan produk organik berikut menjamin pasarnya. Ketika petani telah
mampu mengusahkan dengan kualitas tertentu dan standar tertentu, maka mulai
dimediasikan dengan pengusaha pemasar ataupun pengolah produk pertanian
organik.
Ketersediaan dan Penyiapan Input
Usaha tani organik membutuhkan
pasokan dalam jumlah yang besar. Pupuk kandang, kompos atau pupuk hijau tidak
cukup dalam hitungan kuintal, semuanya meminta persyaratan dalam tonase. Tidak
semua petani memiliki ketersediaan bahan tersebut dalam jumlah yang cukup.
Keterbatasan jumlah ternak yang dipelihara, sarana transportasi ke lahan dan
lain sebagainya. Akhirnya biaya ekstra harus dikeluarkan. Ini adalah sebagian
hambatan memperoduksi sendiri pupuk organik. Pemerintah telah membagikan sarana
mesin pencacah jerami. Hanya pada beberapa lahan saja dapat diterapkan. Lahan
yang dapat dijangkau oleh mesin yang beratnya lebih dari satu kuintal itu.
Memang telah dirancang portable, tetap tidak semua lahan dapat dijangkau. Untuk
mengolah disuatu tempat pengangkutan jeraminya yang menjadi lebih mahal.
Akhirnya alat yang mahal tersebut menjadi disfungsi atau alih fungsi untuk
kegiatan lain.
Pestisida organik, secara teoritis
di desa memiliki bahan baku yang melimpah. Tetapi pada prakteknya petani
mengalami kesulitan. Bahan tidak tersedia dalam jumlah besar dan
berkelanjutan. Ini terjadi karena
persiapan belum semestinya. Jika sudah menjadi
pilihan teknologi usaha tani tentu akan dipersiapkan.
Sayangnya kelemahan ini menjadi
peluang pengusaha yang bermodal. Dengan menyediakan pupuk organik baik pada
maupun cair. Mugkin mendatangpun sampai pada pestisida organiknya. Satu sisi
ini memudahkan, tetapi disisi petani, sebagaimana telah disampaikan, tetap
menjadi objek yang tidak akan terentaskan.
Tidak semua teknologi mekanik dapat
diterapkan sebagaimana mestinya pada lahan pertanian. Aplikasi teknologi
spesifik lokasi dengan memanfaatkan potensi yang ada menjadi pilihan.
Eksplorasi perlu bimbingan yang terarah. Pertimbangan murah, mudah dan
menguntungkan. Targetnya adalah memandirikan petani dalam penyediaan input
usaha taninya.
Saat ini subsidi pupuk organik diberikan
kepada pengusaha pupuk. Untuk petani belum dirasakan. Bantuan sarana mesin
pencacah jerami dan rumput untuk membuat
pupuk organik belum optimal. Alat tersebut menjadi barang yang mahal, bahan
bakar mahal, suku cadang juga mahal. Bantuan ternak perlu ditingkatkan dan
dimeratakan, terutama sekali pada daerah potensi lumbung pangan. Bantuan ini
tentunya juga diikuti dengan sarana kandang yang mendukung untuk pemanfaatan
limbah pertanian untuk pupuk. Kandang yang memiliki penampung kotoran padat dan
cair. Jika ini tidak disertakan, petani yang mengolah secara konvensional.
Alasan klasik, tidak ada biaya untuk membuat kandang.
Reward Bagi Petani Organik
Subsidi pupuk organik sebaiknya juga
diberikan kepada petani yang mengelola usaha taninya secara organik. Langkah
Provinsi Sumatera Barat patut ditiru. Petani yang tidak membakar jerami dan
memanfaatkannya sebagai pupuk diberikan insentif. Bagi kelompok yang
mengusahakan pertanian secara organik diberikan reward alsintan. Biaya produksi
pupuk organik yang dilakukan oleh petani disubsidi langsung oleh pemerintah.
Dengan reward ini tentunya akan mendorong percepatan produksi pupuk organik
mandiri dan bekelanjutan di tingkat petani. Proses adopsi teknologi organik dan
implementasi di lapangan menjadi lebih cepat.
Perhatian ini akan mendorong
percepatan masyarakat untuk berubah ke sistim organik. Merubah prilaku ini
bagian yang cukup sulit. Bukan hanya petani, juga pembinanya dari pemerintah
terkait yang masih belum memperhatikan aspek ini. Kesiapan penyuluh berkenaan
pengetahuan dan keterampilan pertanian oganik perlu dibekali lebih awal.
Transformasi pengetahuan ini sering lambat, karena penyuluh banyak yang belum
menguasai teknologi organik. Mereka kebanyakan telah terbiasa dididik dengan
teknologi revolosi hijau.
Dengan kemandirian petani,
diharapkan petani tidak melulu menjadi pasar industri pupuk. Tetapi dia juga
sebagai produsen yang layak mendapat subsidi pemerintah. Jika biaya input usaha
tani menjadi lebih rendah tentunya akan dikuti dengan meningkatnya NTP.
Kesejahteraan petani akan tercapai. Itu harapan dan target kita bukan?
Desa Atas Tebing , 18
Februari 2010
(Anton Sutrisno, SP. Pegiat
Pertanian Organik, THL TB PP Bertugas di BPP Arga Makmur Kabupaten Bengkulu
Utara)
Catt: dikirim ke Tabloid Sinar Tani
0 Komentar
Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda