Oleh: Anton Sutrisno
Ketika gempa bumi mengguncang Bengkulu pada 12 September 2007, bukan hanya bangunan fisik yang terdampak. Aktivitas ekonomi masyarakat desa pun ikut terguncang. Namun di tengah keterbatasan tersebut, sebuah mekanisme ekonomi berbasis masyarakat justru menunjukkan daya tahannya: Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD) dalam Program Bengkulu Regional Development Project (BRDP) di Kabupaten Bengkulu Utara.
Laporan Triwulan III Tahun 2007 memperlihatkan bahwa dana bergulir yang dikelola UPKD tidak berhenti berputar. Ia tetap mengalir, meski tersendat di beberapa titik, menjadi bukti bahwa lembaga keuangan mikro berbasis desa memiliki ketahanan sosial yang kuat ketika krisis datang
![]() |
| Pengurus UPKD |
Modal Sosial di Awal Tahun: Kekuatan dan Kerentanan
Memasuki awal tahun 2007, total dana bergulir Program BRDP di Bengkulu Utara mencapai Rp16,59 miliar, dan telah berkembang menjadi pinjaman kepada masyarakat sebesar Rp19,51 miliar. Angka ini mencerminkan tingginya kebutuhan modal usaha masyarakat desa, sekaligus kepercayaan terhadap UPKD sebagai lembaga keuangan lokal.
Namun di balik angka tersebut, terdapat tantangan serius. Piutang macet mencapai Rp6,83 miliar, hampir sepertiga dari total pinjaman beredar. Kondisi kesehatan UPKD pun timpang: hanya 44 UPKD yang tergolong sehat, sementara 64 UPKD berada dalam kondisi tidak sehat hingga macet. Meski demikian, tingkat pengembalian kumulatif masih berada di angka 84,70 persen, menunjukkan bahwa sistem belum runtuh sepenuhnya
Strategi Bertahan: Ketika Negara Hadir Lebih Dekat
Menghadapi kondisi tersebut, Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara tidak memilih jalan pintas. Pendekatan yang digunakan bukan sekadar penagihan, melainkan pembinaan kelembagaan dan penguatan sosial.
Langkah-langkah strategis dilakukan, mulai dari pembentukan Sekretariat Pengendali Program UPKD BRDP di tingkat kabupaten, konsolidasi manajemen dengan tim pengendali kredit kecamatan, hingga perekrutan 10 orang fasilitator mikrofinance yang secara khusus mendampingi desa-desa binaan.
Pelatihan pengurus, pengawas, dan kelompok kerja UPKD menjadi titik balik penting. Banyak UPKD yang sebelumnya “mati suri” mulai kembali bergerak. Meskipun angsuran yang masuk masih kecil, kehadiran pemerintah daerah memberikan sinyal kuat bahwa UPKD tidak ditinggalkan begitu saja
Gempa Bumi dan Ketahanan Ekonomi Desa
Gempa Bengkulu September 2007 menjadi ujian nyata. Di tengah situasi darurat, pencairan pinjaman tetap berjalan. Pada bulan September saja, dana sebesar Rp508 juta disalurkan kepada 241 nasabah, mayoritas laki-laki namun dengan keterlibatan perempuan yang tetap signifikan.
Secara akumulatif, hingga akhir Triwulan III, 34.173 orang telah memanfaatkan dana bergulir UPKD dengan total pinjaman mencapai Rp55,72 miliar. Fakta ini menunjukkan bahwa UPKD bukan sekadar lembaga keuangan, tetapi juga instrumen pemulihan ekonomi masyarakat pascabencana
Modal yang Tumbuh, Meski Tak Merata
Dari sisi permodalan, UPKD menunjukkan pertumbuhan positif. Modal total mencapai Rp19,7 miliar, meningkat sekitar 18,18 persen dari dana awal. Pertumbuhan ini berasal dari simpanan anggota, laba usaha, serta penambahan modal dari sisa hasil usaha (SHU).
Beberapa UPKD bahkan mampu mencatatkan perkembangan luar biasa. UPKD Desa Air Petai, Bukit Makmur, dan Tanjung Anom berhasil mengembangkan modal lebih dari 50 persen dalam waktu relatif singkat. Capaian ini membuktikan bahwa jika dikelola dengan baik, dana bergulir mampu menjadi motor ekonomi desa yang berkelanjutan
Masalah Klasik: Kredit Macet dan Kelembagaan
Meski demikian, laporan ini juga jujur mengungkap persoalan klasik yang belum tuntas. Tunggakan pinjaman masih menjadi masalah utama, dipicu oleh penunggak lama, dampak bencana alam, serta belum adanya formulasi pengendalian kredit yang sepenuhnya sesuai dengan karakter masyarakat desa.
Masalah lain adalah kelembagaan UPKD. Hingga 2007, belum ada bentuk hukum yang kuat untuk menjembatani kerja sama UPKD dengan lembaga keuangan formal seperti bank. Akibatnya, UPKD yang sebenarnya sehat justru kesulitan mengakses tambahan permodalan
Belajar dari yang Sehat
Evaluasi kesehatan UPKD pada Triwulan III menunjukkan perbaikan. Jumlah UPKD sehat meningkat menjadi 56 unit, dengan 14 UPKD masuk kategori sangat sehat. Desa-desa seperti Taba Lagan, Air Putih, Air Petai, dan Bukit Makmur menjadi contoh bahwa disiplin pengelolaan dan dukungan sosial desa mampu menjaga keberlanjutan lembaga keuangan mikro.
Keberhasilan ini menegaskan satu hal penting: kesehatan UPKD sangat ditentukan oleh kualitas kepengurusan dan dukungan kelembagaan di tingkat desa dan kecamatan
Rekomendasi: Jalan Panjang Menuju Kemandirian
Laporan ini tidak berhenti pada evaluasi, tetapi juga menawarkan arah kebijakan ke depan. UPKD didorong untuk berkembang menuju bentuk kelembagaan yang lebih mandiri, baik melalui skema BPR berbadan hukum koperasi, perseroan terbatas milik desa, maupun tetap sebagai unit layanan desa yang terhubung di tingkat kecamatan.
Penguatan forum antar-UPKD, prosedur baku penanganan kredit macet tanpa pendekatan represif, serta ketegasan terhadap UPKD yang benar-benar macet menjadi rekomendasi penting. Semua itu tetap diletakkan dalam kerangka besar pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan, ruh utama Program BRDP
Penutup: UPKD sebagai Cermin Ekonomi Desa
Kisah UPKD BRDP Bengkulu Utara pada 2007 adalah potret ekonomi desa Indonesia: penuh tantangan, tidak selalu rapi, tetapi sarat dengan harapan. Di tengah gempa dan keterbatasan, dana bergulir tetap berputar, membuktikan bahwa ketika masyarakat diberi kepercayaan dan didampingi dengan serius, mereka mampu menjaga keberlanjutan ekonomi mereka sendiri.
UPKD bukan sekadar catatan laporan keuangan. Ia adalah cerita tentang daya tahan, pembelajaran kolektif, dan ikhtiar panjang menuju kemandirian desa.

0 Komentar
Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda