Latar Belakang
Sawah merupakan sumber pangan penyangga kota. Sawah di Rawa Pening. |
Kebijakan pembangunan yang terencana
dengan baik dengan memperhatikan pembangunan kota dan desa yang terintegrasi.
Tidak terjadi ketimpangan, terprogram dan saling menunjang. Kemajuan kota tidak
lepas dari dukungan wilayah sekitarnya sebagai penyangga. Penyedia kebutuhan
masyarakat kota, mulai dari pangan hingga tenaga kerja. Kegagalan mengelola
daerah penyangga akan mengakibatkan permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan
kota.
Sektor pertanian mempunyai peranan yang
cukup besar baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sektor
pertanian memiliki peranan penciptaan ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan,
penyediaan lapangan kerja, dan penampung (reservoar) tenaga kerja yang kembali
ke perdesaan sebagai akibat dampak krisis di perkotaan, menanggulangi
kemiskinan masyarakat yang semakin meningkat, pengendalian inflasi, dan dengan
tingkat pertumbuhan yang positif sektor pertanian berperan dalam menjaga laju
pertumbuhan nasional. Secara tidak langsung, pembangunan sektor pertanian
berperan dalam penciptaan iklim ekonomi makro melalui pengaruhnya terhadap
tingkat inflasi yang sebagian besar dipengaruhi oleh dinamika harga bahan
pangan, mendukung pembangunan industri hulu melalui permintaan sarana produksi
pertanian, penyediaan bahan baku agroindustri, dan pembangunan industri hilir
melalui proses pengolahan bahan pangan dan non pangan produk pertanian yang
berkualitas, serta penciptaan sistim pemasarannya. Sektor pertanian berada pada
daerah penyangga.
Sayangnya, pada saat ini kesan yang
ditampak adalah daerah penyangga tampak miskin karena kurangnya arah
pembangunan yang menunjang daerah
tersebut. Pada tulisan ini dicoba untuk membahas beberapa hal yang menjadi
perhatian dalam rangka penguatan sistim produksi di daerah penyangga.
Dukungan Urbanisasi Strategi Pengembangan Daerah
Penyangga
Menurut Tri Pranaji (2006) pengembangan
daerah penyangga untuk pengendali urbanisasi, sebagai upaya untuk memposisikan
kembali urbanisasi sebagai pemacu kemajuan budaya bangsa Indonesia. Kaitannya
dengan kemajuan budaya, ternyata kemajuan saat ini, merupakaan desain terencana
sebuah urbanisasi sejak jaman Belanda dulu. Lebih jelasnya disadurkan tulisan
Tri Pranji berikut ini.
Proses de-urbanisasi Jakarta (sebagai
Bandar Internasional) tidak dapat dipisahkan dari proses urbanisasi Singapura
yang dirancang secara sistematik padajaman Pemerintahan Gubernur Jenderal
Raffles (abad 18), sebagai konsekuensi kekalahan Napoleon Bonaparte (Belanda
beraliansi dengan Perancis) dalam perang Eropa (melawan Inggris). Urbanisasi
terencana di Batavia, yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda, terkait dengan
de-urbanisasi Makassar dan Jayakarta (abad 16). Urbanisasi Makassar yang
dirancang pemerintah Hindia Belanda dimaksudkan untuk menenggelamkan Bandar
Kerajaan Goa (abad 17). Urbanisasi Semarang yang dirancang pemerintah Hindia
Belanda (VOC) secara sistematik, setelah abad 18, dimaksudkan untuk
menenggelamkan peran Jepara sebagai kota Bandar ekonomi dan pusat kegiatan
pemerintah serta politik.
Proses de-urbanisasi lainnya juga dapat dilacak
saat terjadinya perpindahan pusat pemerintahan kerajaan di Jawa Tengah; dari
Demak ke Pajang (Surakarta), dari Pajang (Surakarta) ke Mataram (Yogyakarta),
dan dari Mataram dialihkan ke Batavia (Jakarta) pada Jaman Hindia Belanda. Pada
kasus perpindahan pusat pemerintahan kerajaan di Jawa Timur dapat dilacak dari bergesernya
kerajaan Mataram Kuno (Empu Sendok) yang semula di Jawa Tengah kemudian
dipindahkan ke Jawa Timur, dari Daha (Kediri) ke Singosari (Malang), dan dari
Singosari ke Majapahit (Mojokerto).
Proses urbanisasi yang terjadi di
kota-kota besar di Jawa dan Luar Jawa dewasa ini mulai terjadi pergeseran,
yaitu bergeser dari yang semula merupakan proses pemindahan kemakmuran dari
pedesaan ke perkotaan menjadi proses pemindahan kemiskinan dari daerah
penyangga dan pedesaan ke perkotaan.
Pemikiran untuk “membalik arus” agar
proses urbanisasi menjadi lokomotif kemajuan peradaban masyarakat dapat
ditempuh melalui pengembangan daerah penyangga. Visi ideal pengembangan daerah
penyangga dapat disejajarkan dengan gagasan Presiden pertama Republik Indonesia
(Ir. Soekarno) pada 1960-an untuk membangun Palangkaraya sebagai ibu kota Republik
Indonesia. (Palangkaraya menjadi satu-satunya kota buatan yang telah dirancang
khusus untuk menjadi ibu kota RI). Dengan rancangan Palangkaraya sebagai Ibu
Kota negara Republik Indonesia, maka bukan saja Palangkaraya dan sekitarnya
akan menjadi daerah kota penyangga Jakarta, melainkan juga daerah Kalimantan
Tengah akan menjadi penyangga kota Jawa. Gambaran bahwa Jawa sebagai pola kota
terapung di antara Laut Jawa dan Samudera Hindia, yang akan diperkirakan akan
segera tenggelam, sebenarnya hampir dapat diantisipasi dan diatasi.
Gagasan ini sangat saya setujui. Bahkan
bukan pada saat ini tetapi sejak awal saya masuk kuliah S1 telah menyampaikan
pandangan yang seperti itu ketika dalam diskusi pendalaman penataran P4.
Seingat saya dosen pembimbingnya bapak Puji dari Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu. Bahwa pemertaan pembangunan tidak difokuskan di Jawa saja, akan tetapi
dapat dikembangkan di daerah luar jawa. Sebagai contoh dengan adanya otorita
Batam maka arus urbanisasi tidak ke Jakarta tetapi Batam. Seandainya pabrik ban
mobil Gajah Tunggal dibangun di Bengkulu, akan berdampak percepatan pembangunan
di Bengkulu, melalui urbanisasi yang terarah. Bengkulu sebagai daerah
penyangga.
Masih menurut Tri Pranaji, bahwa Pengembangan
daerah penyangga, dengan demikian, dapat dipandang sebagai pengembangan kawasan
ekonomi yang memiliki keberpihakan pada penguatan terhadap masyarakat madani
(civil society). Secara fisik daerah penyangga harus dibangun prasarana
(transportasi, sekolah, tempat ibadat, dan bangunan publik lainnya) yang
memungkinkan menjadi kawasan yang kondusif untuk pengembangan ekonomi berbasis
masyarakat madani (“rakyat”). Kegiatan ekonomi riil yang dinilai masuk akal
untuk dikembangkan adalah industri skala kecil dan menengah; yang diharapkan
mampu menyerap tenaga kerja berketerampilan menengah.
Untuk mencapai gagasan pengembangan daerah penyangga, masih
menurut Tri Pranaji, agar urbanisasi tidak menyimpang dari tujuan pembangunan,
maka diperlukan desain yang tepat dalam pengembangan sitem produksil. Terdapat
lima factor yang harus menjadi pertimbangan yaitu, basis inisiatif, produk
akhir, input intensif usaha, sumber pengetahuan dan teknologi, dan sumber
permodalan.
Basis Inisiatif
Membicarakan basis inisiatif ini bagian
yang berat, dan menurut saya merupakan bagian yang penting dan mendasar. Hal
ini akan sangat erat sekali dengan kebijakan periode 5 tahun yang telah
disadari selama ini sistim bongkar pasang, tidak berkesinambungan. Apalagi di
tingkat daerah yang kebijakannya lebih pada slogan politis belaka.
Penetapan daerah penyangga diperlukan
konsistensi jangka panjang. Tidak saja dalam periode tertentu. Sehingga
perubahan para pelaku di dalamnya akan berjalan secara alami. Kendala otonomi
daerah yang tidak terkoorinasi dengan baik. Antara pemerintah pusat dan daerah
dapat terjadi pertentangan dalam pengelolaan daerah penyangga ini. Kebijakan
yang berjalan adalah kebijakan politis dalam rangka mendukung legitimasi
kekuasaan. Kebijakan ini sebaiknya dilakukan terlebih dahulu kajian empiric,
menyangkut ketersediaan sumberdaya, kseseuaian teknologi untuk melakukan proses
empiris. Kajian ini harus benar-benar terlepas dari kepantingan.
Basis inisiatif ini didukung oleh
kelembagan yang legitimate. Seperti yang dilakukan untuk penyesuaian daerah
penyangga Jabodetabekpunjur (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Puncak
Cianjur) seperti yang dipublikasikan http://www.depkominfo.go.id (2010). Pemerintah DKI bersama Pemerintah daerah
yang lain membentuk Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) yang telah tertuang
dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54/2008tentang Penataan Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur.
Untuk mengembangkan wilayah
Jabodetabekjur, PemprovDKI Jakarta memberikan dana hibah sebesar Rp25 miliar untuk
sembilan pemerintah daerah yang menjadi daerah penyangga DKI Jakarta. Dana
hibah ini untuk pengembangan di bidang kesehatan,pendidikan, kebersihan,
sinkronisasi tata ruang kawasan Jabodetabekjur, pengendalian banjir, dan
pengelolaan sampah.
Produk Akhir
Daerah penyangga selama ini masih
menghasilkan bahan mentah dengan nilai ekonomi yang rendah. Pengolahan dilakukan
di daerah perkotaan. Kalaupun ada pengolahan bahan baku kebanyakan baru pada
tahap setengah jadi.
Diperlukan adanya kebijakan pemerintah
yang mendukung percepatan pembangunan sarana produksi, teknologi yang digunakan
untuk mengolah bahan baku yang dihasilkan di daerah penyangga yang dilaksanakan
di daerah penyangga. Manfaat selain untuk medukung strategi urbanisasi yang
terarah, juga untuk mendekatkan industry dengan bahan bakunya. Kendala yang
dihadapi adalah infrastrukur untuk distribusi bahan baku dan bahan pendukung
lainnya. Bahan ini harus didatangkan dari suatu tempat, sehingga mengakibatkan
lonjakan biaya.
Produksi pada daerah ini diperlukan
dukungan modal finansial, tenaga kerja terlatih dan sumberdaya manusia yang
berpengetahuan relatif tinggi. Proses produksi dari hulu hingga ke hilir
sebaiknya diselesaikan didareah penyangga. Limbah produksi dapat terkelola
dengan baik jika dibandingkan perkotaan yang padat.
Input intensif usaha
Untuk menjaga keberlangsungan daerah
penyangga diperlukan pengendalian dan pengaturan sumberdaya alam yang ada.
Kelestarian sumberdaya alam untuk diwariskan kepada anak cucu. Sumberdaya alam,
tanah, hutan dan air merupakan sumber untuk dapat melakukan produksi.
Jika dilihat kepentingan dan kebutuhan
daerah penyangga dikembangkan sesuai dengan potensi yang ada. Akan tetapi
kondisi sekarang seperti ada kesan pada beberapa tempat menurut pengamatan
penulis sengaja “dimiskinkan” untuk penyedia tenaga kerja. Untuk dikota
Bengkulu diperlukan dukungan tenaga kerja dari daerah Pekik Nyaring dan
Bentiring untuk melakukan kegiatan pembangunan. Di Kota Arga Makmur, diperlukan
tenaga dari Sekitar Sido Urip, Karang Suci dan Rama Agung. Mereka dengan
sumberdaya alam yang terbatas sehingga memerlukan tambahan pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhannya. Lima tahun yang lalu tenaga dapat diambil dari daerah Padang
Jaya, saat ini tenga kerja didaerah ini telah mahal, masyarakat sudah
memproduksi Sawit dan Karet. Mereka memiliki nilai tawar yang tinggi yang
diukur berdasarkan upah harian memanen sawit atau meyadap karet, dibandingkan
dengan upah bekerja pada proyek bangunan. Pada daerah yang telah mulai maju
ekonominya masyarakt telah memiliki keahlian tertentu berkaitan dengan usaha
produktifnya.
Untuk daerah yang akan dijadikan
penyangga, diperlukan peningkatan skil msyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
alam. Mereka dapat dibekali dengan ilmu pengetahuan dan keahlian yang lebih
baik. Kemajuan ini sebenarnya akan berjalan secara alami. Jika kebijakan
pembangunan oleh pemerintah sudah mengarahkan pengembangan daerah penyangga,
berarti intesitas pembangunan prasara dan sarana yang akan menunjang usaha
produksi, maka akan menarik tenaga skil yang dibutuhkan oleh program dari
wilayah kota yang maju ke desa. Sehingga penyediaan kebutuhan tenaga terdidik
akan terpenuhi.
Sumber Pengetahuan dan Teknologi
Pengetahuan dan teknologi dalam kegiatan
produksi di daerah penyangga kebanyakan masih bersifat tradisional. Jika tidak
ada intervensi maka akan tetap ketinggalan jaman. Teknologi yang ada bersifat
imitative. Hal ini disebabkan masyarakat di daerah penyangga menghindari resiko
yang terlalu tinggi dengan melakukan inovasi. Teknologi yang ada dirasakan
sudah sangat memenuhi kebutuhan mereka.
Untuk mendukung penguatan sitem
produksi, maka teknologi harus berasal hasil riset terakhir dan bersifat
inovatif. Untuk mencapai produksi yang efisien diperlukan teknologi yang
sesuai. Telah dilakukan pengkajian secara mendalam. Dengan teknologi yang
memadai ini juga memerlukan dukungan tenaga kerja yang terdidik. Tenaga
terdidik diprioritaskan berasal dari wilayah penyangga. Sehingga terjadi
penyerapan ternaga kerja dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia.
Produksi sector pertanian dengan
berbasis agibisnis dan agro industry. Proses produksi sebagaimana telah dibahas
di atas, sebaiknya dilakukan tidak jauh dari sentra produksi bahan baku.
Sehingga dari segi biaya lebih efisien.
Peran pemerintah untuk selalu melakuan
kajian dalam pengembangan teknologi yang sesuadi untuk dikembangkan di wilayah
ini. Perlu dipertimbangkan teknolgi yang dintroduksi adalah teknologi yang
bersesuaian dengan potensi lokal. Teknologi ini tidak menyangkut prosesing
mesin saja, akan tetapi juga termasuk pada teknologi pertanian meliputi
teknologi usaha tani, hingga prosesing pasca panen.
Pengembangan teknologi disamping sesuai
dengan potens setempat juga dikembangkan terhadap dampak lingkungan. Untuk
menjaga keberlangsungan daerah penyangga diperlukan teknologi yang ramah
lingkungan.
Sumber Permodalan
Untuk pengembangan produksi diperlukan
adanya permodalan yang melibatkan lembagan keungan formal, seperti perbankan,
dan perusahaan swasta yang dapat mengivestaikn di dareah ini. Kemitraan antara
kota dan penyangga sangat diperlukan. Pusat perdagangan yang ada diperkotaan yang
menjual produk pertanian diharapkan melakukan kemitraan dengan Gapoktan
(gabungan kelompok tani). Kelompok tani sebagai penyedia produk pangan yang
dipasarkan oleh pusat perdagangan.
Permodalan selama ini, banyak yang
dimiliki oleh perseorangan dan dari
lembaga keuangan dengan jumlah terbatas. Pelaku penyedia modal adalah para
pedangang pengumpul, toke dan lain sebagainya yang menyediakan modal awal
kepada para petani nelayan untuk memproduksi pangan. Modal ini dikembalikan
dengan cara menyetorkan hasil produksinya. Produksi petani inilah yang
dipasarkan dikota.
Idealnya untuk mendukung urbanisasi yang
terarah dan terkendali, modal kerja dan investasi berasal dari milik bersama
dan pinjaman dari lembaga keuangan formal dalam jumlah yang memadai. Berkaitan
dengan ini diperlukan kebijakan pemerintah sebagai penjamin proses pengembangan
usaha tersebut.
Referensi:
Depkominfo,
2010. Daerah Penyangga Harus Kedalikan
Kepentingannya, http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/...
Tri Pranaji,
2006. Pengembangan Daerah Penyangga Sebagai Upaya Pengendalian Arus Urbanisasi,
JurnalAnalisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 4, Desember 2006 : 327-341
0 Komentar
Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda