Menata Ulang Kawasan Hutan Mukomuko: Penegakan Hukum, Keadilan Sosial, dan Jalan Tengah bagi Masyarakat

 

Oleh : Anton Sutrisno[1]

Upaya pemerintah menindak tegas perambahan hutan di Kabupaten Mukomuko patut diapresiasi sebagai langkah penting dalam mengembalikan kewibawaan negara atas kawasan hutan. Penertiban perkebunan sawit ilegal di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Ipuh II yang merupakan bagian dari bentang alam Seblat menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga fungsi ekologis hutan, khususnya sebagai koridor migrasi Gajah Sumatera yang semakin terancam. Namun, di balik tindakan tegas tersebut, muncul persoalan krusial yang tidak kalah penting, yakni bagaimana solusi terbaik bagi masyarakat yang telah terlanjur membuka lahan, bagaimana skema kompensasi atas tanaman sawit yang sudah tertanam, serta bagaimana arah pemanfaatan kawasan ke depan agar tetap adil, manusiawi, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penegakan Hukum sebagai Titik Awal, Bukan Akhir

Secara hukum, dasar penindakan terhadap perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan negara sangat kuat. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas melarang penggunaan kawasan hutan tanpa izin, apalagi mengubah fungsi kawasan. Larangan tersebut diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang mengatur sanksi pidana berat bagi pelaku perambahan hutan, baik perorangan maupun korporasi.

Dalam konteks Mukomuko, penebangan paksa sawit ilegal merupakan konsekuensi hukum yang tidak dapat ditawar. Kawasan HPT Air Ipuh II secara legal ditetapkan sebagai kawasan hutan negara dengan fungsi tertentu, sehingga segala bentuk aktivitas di dalamnya tanpa izin adalah perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, argumentasi “sudah terlanjur menanam” tidak dapat dijadikan dasar pembenaran untuk mempertahankan kebun sawit di dalam kawasan hutan.

Namun demikian, penegakan hukum tidak boleh berhenti pada tindakan administratif berupa penebangan semata. Sebagaimana disampaikan praktisi hukum Muslim Chaniago, aparat penegak hukum wajib menelusuri aktor intelektual dan pihak-pihak yang diuntungkan dari pembukaan lahan ilegal tersebut. Jika benar terdapat keterlibatan pengusaha besar maupun pejabat aktif, maka penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Ketegasan terhadap aktor besar justru menjadi kunci agar masyarakat kecil tidak kembali menjadi korban kebijakan yang timpang.

Membedakan Pelaku: Masyarakat Kecil dan Pemodal Besar

Salah satu prinsip penting dalam penanganan konflik kehutanan adalah diferensiasi pelaku. Tidak semua pihak yang membuka lahan di kawasan hutan memiliki motif dan kapasitas yang sama. Di lapangan, sering ditemukan masyarakat kecil yang membuka lahan karena keterbatasan akses tanah, tekanan ekonomi, atau ketidaktahuan atas status kawasan. Di sisi lain, terdapat pemodal besar yang secara sadar dan terencana menguasai puluhan hingga ratusan hektare kawasan hutan dengan dukungan modal, alat berat, dan jaringan kekuasaan.

Pendekatan kebijakan yang adil harus mampu membedakan kedua kelompok ini. Terhadap pemodal besar dan oknum pejabat yang diduga menyalahgunakan kewenangan, pendekatan hukum pidana harus ditegakkan secara tegas. Sementara terhadap masyarakat kecil, negara perlu menghadirkan solusi transisi yang berkeadilan, bukan sekadar pendekatan represif.

Kompensasi Sawit: Antara Hukum dan Keadilan Sosial

Pertanyaan yang kerap muncul adalah apakah masyarakat berhak mendapatkan kompensasi atas tanaman sawit yang ditebang. Secara normatif, tanaman yang ditanam di kawasan hutan negara tanpa izin adalah objek ilegal, sehingga negara tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan ganti rugi. Hal ini penting ditegaskan agar tidak menimbulkan preseden buruk yang mendorong perambahan baru dengan harapan mendapatkan kompensasi di kemudian hari.

Namun, dalam kerangka kebijakan publik dan keadilan sosial, negara masih memiliki ruang untuk memberikan solusi non-kompensasi langsung. Bentuknya bukan penggantian nilai tanaman sawit, melainkan fasilitasi alternatif penghidupan. Misalnya melalui program perhutanan sosial, reforma agraria di luar kawasan hutan, atau bantuan modal dan pelatihan bagi masyarakat terdampak. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip “keadilan restoratif” dalam kebijakan kehutanan, di mana pemulihan ekosistem berjalan beriringan dengan pemulihan sosial-ekonomi masyarakat.

Haruskah Kembali Menjadi Hutan?

Secara ekologis, kawasan HPT Air Ipuh II memiliki fungsi strategis yang tidak tergantikan. Kawasan ini merupakan koridor satwa liar, khususnya Gajah Sumatera, sekaligus daerah tangkapan air bagi empat DAS utama: DAS Teramang, DAS Retak, DAS Ipuh, dan DAS Air Rami. Oleh karena itu, secara prinsip, kawasan ini harus dikembalikan ke fungsi hutan.

Namun, mengembalikan fungsi hutan tidak selalu berarti menutup total akses masyarakat. Regulasi kehutanan sebenarnya membuka ruang pemanfaatan terbatas melalui skema agroforestri dan perhutanan sosial, sepanjang tidak mengubah fungsi utama kawasan. Penanaman kembali dengan jenis tanaman hutan, tanaman pakan satwa, dan tanaman bernilai ekonomi non-kayu dapat menjadi solusi kompromi.

Alternatif Komoditas yang Relevan dan Legal

Sebagai pengganti sawit, masyarakat dapat diarahkan pada komoditas yang lebih ramah hutan dan sesuai dengan fungsi HPT. Beberapa komoditas yang relevan antara lain:

  1. Tanaman kehutanan bernilai ekonomi, seperti durian hutan, jengkol, petai, dan kemiri, yang memiliki nilai jual tinggi namun tetap mendukung tutupan hutan.
  2. Agroforestri kopi dan kakao bawah naungan, yang terbukti mampu meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa merusak struktur hutan.
  3. Tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti madu hutan, rotan, bambu, dan tanaman obat, yang memiliki pasar khusus dan berkelanjutan.
  4. Ekowisata berbasis konservasi, terutama mengingat posisi kawasan ini sebagai bentang alam Seblat yang memiliki daya tarik keanekaragaman hayati.

Dengan pendekatan ini, kawasan tetap berfungsi sebagai hutan, sementara masyarakat tetap memperoleh manfaat ekonomi yang legal dan berkelanjutan.

Peran Negara dan Konsistensi Kebijakan

Kasus Mukomuko juga menyingkap persoalan klasik lemahnya pengawasan kawasan hutan akibat keterbatasan anggaran dan sumber daya. Anggaran operasional KPHP yang hanya sekitar Rp5 juta per tahun jelas tidak sebanding dengan luas wilayah yang harus diawasi. Oleh karena itu, komitmen pemerintah pusat harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan anggaran yang memadai, penguatan kelembagaan KPH, serta integrasi pengawasan lintas sektor.

Lebih dari itu, negara harus memastikan bahwa kebijakan penertiban tidak bersifat sporadis dan tebang pilih. Konsistensi penegakan hukum adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan publik dan mencegah konflik horizontal di masyarakat.

Penutup: Jalan Tengah yang Rasional dan Berkeadilan

Penertiban sawit ilegal di kawasan hutan Mukomuko adalah langkah yang tidak terhindarkan demi menjaga keberlanjutan lingkungan dan masa depan ekologi Bengkulu. Namun, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya diukur dari berapa banyak sawit yang ditebang, melainkan dari sejauh mana negara mampu menghadirkan solusi adil bagi masyarakat sekaligus tegas terhadap pelaku kejahatan kehutanan skala besar.

Mengembalikan kawasan HPT Air Ipuh II ke fungsi hutannya adalah keharusan ekologis dan hukum. Tetapi prosesnya harus disertai dengan skema transisi ekonomi yang realistis, legal, dan berkelanjutan. Dengan demikian, konservasi tidak menjadi musuh masyarakat, melainkan fondasi bagi kesejahteraan jangka panjang yang lebih adil dan bermartabat.




[1] Anton Sutrisno, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi dan Lingkungan


🌳 Penertiban Sawit Ilegal dan Penegakan Hukum Kehutanan

Makna ilustrasi:
Menunjukkan kehadiran negara melalui operasi gabungan lintas instansi dalam menegakkan hukum kehutanan. Visual ini memperkuat narasi bahwa penebangan sawit ilegal merupakan langkah awal pemulihan fungsi hutan dan bukan tindakan sewenang-wenang.

🐘 Koridor Gajah dan Kerusakan Bentang Alam Seblat

Makna ilustrasi:
Menggambarkan urgensi ekologis kawasan HPT Air Ipuh II sebagai jalur migrasi Gajah Sumatera. Ilustrasi ini menegaskan bahwa perambahan hutan tidak hanya persoalan hukum, tetapi juga ancaman serius terhadap satwa dilindungi dan keseimbangan ekosistem.


🌱 Solusi Transisi: Agroforestri dan Pemulihan Hutan Berbasis Masyarakat

Makna ilustrasi:
Mewakili solusi jalan tengah yang ditawarkan dalam artikel: hutan tetap pulih, masyarakat tetap hidup. Sistem agroforestri dan perhutanan sosial menjadi alternatif rasional pengganti sawit ilegal tanpa menghilangkan sumber penghidupan warga.

💧 Hutan sebagai Penyangga Kehidupan dan Sumber Air

Makna ilustrasi:
Menegaskan peran strategis kawasan hutan Mukomuko sebagai penyangga empat DAS utama. Visual ini memperkuat argumen bahwa pemulihan hutan bukan hanya untuk satwa, tetapi juga demi keberlanjutan hidup ribuan warga di hilir.

Posting Komentar

0 Komentar