MENGAPA ADA PERBEDAAN PENETAPAN 1 SYAWAL?

HIKMAH PERBEDAAN PENETAPAN 1 SYAWAL

Oleh: Anton Sutrisno



Perbedaan penetapan tanggal 1 Syawal sering terjadi. Hal ini cukup menggelitik mengapa terjadi perbedaan. Dalil yang dipakai sama, dan fakta yang diamati juga sama, yaitu bulan yang satu dan matahari yang satu dan dilihat pada bumi yang satu.

Saya tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan astronomi yang memadai untuk berpendapat, juga pemahaman fiqh untuk mentafsir. Sebagai orang awam, taklid adalah metode yang sah dan paling aman. Taklid terhadap pendapat tertentu atau ketetapan resmi yang ditetapkan pemerintah. Tetapi sebagai orang awam juga harus memiliki dasar untuk mengikuti yang mana bukan? Karena harus memilih, mana yang diikuti. Hal ini semakin menimbulkan pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan tersebut, dapat digunakan yang akan dibicarakan disini. Boleh dijadikan acuan oleh siapapun boleh juga untuk memiliki argumen yang lain.

Dalil perintah untuk mulai berpuasa atau mengakhiri puasa adalah sebagai berikut:

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh hari
(HR Muslim, dari Abu Hurairah ra.)


Dengan demikian dapat disimpulkan dimulainya dan diakhirinya puasa didasarkan pada rukyatul hilal (melihat hilal).

Pengertian melihat hilal ini memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan mata telanjang dan ada yang menggunakan peralatan. Untuk mendukung hal tersebut juga dilakukan perhitungan atau Hisab. Perbedaan ini menghasilkan beberapa teori yang berbeda-beda.

Mengapa Terjadi Perbedaan

Perbedaan ini merupakan fitrah Allah yang sudah ditetapkan, bahwa pelanet berputar pada garis edarnya. Bumi yang berputar pada porosnya sehingga menghasilkan siang dan malam dan pada saat yang bersamaan bulan berputar mengelilingi bumi dengan kecepatan yang tidak sama dengan perputaran bumi pada porosnya sehingga menghasilkan bentuk bulan yang berubah-ubah sehingga dapat dijadikan informasi yang dipakai dalam perhitungan kalender.

Kecepatan berputar bulan lebih lambat dibanding dengan perputaran bumi pada porosnya.  Bulan membutuhkan waktu untuk mengelilingi bumi selama 29,5 hari (periode sideris), pada saat yang bersamaan dia juga berputar pada porosnya selama satu putaran (periode sinodis) selama 27,3 hari. Selisih tersebut yang mengakibatkan perbedaan waktu antara hari yang satu dengan hari yang lain dalam terbitnya bulan.

Perbedaan yang lainnya adalah titik pengamatan pada saat terjadinya bulan mati. Bulan mati ini terjadi pada saat bumi, bulan dan mata hari berada dalam satu garis, yang dikenal dengan istilah ijtima atau konjungsi atau bulan baru. Jika dilihat dari bumi, perjalanan bulan mulai mendahului matahari. Dalam satu bulan terjadi 2 kali kondisi ini yaitu pada saat bulan baru pada susunan matahari – bulan – bumi dan pada saat bulan purnama yaitu pada posisi matahari – bumi  – bulan. Dampaknya bagi bumi adalah terjadi pasang air lalu yang paling besar. Sering disebut dengan pasang perbani dan pasang purnama. Kejadian ijtima ini tidak sama posisinya dalam setiap bulannya.

Terkait dengan adanya perbedaan bulan baru ini dalam setiap bulannya, maka memberikan tafsiran yang berbeda untuk memaknai melihat hilal. Sehingga ada beberapa teori yang membahasnya. Teori ini saya nukilkan dari situsnya Rukyatul Hilal Indonesia yang dapat di kunjungi di alamat http://rukyatulhilal.org. Sebagai ilustrasi pembahasan ini untuk melihat posisi bulan menggunakan Software Stellarium 0.10.5 yang dilihat pada titik koordinat kota Arga Makmur. Diperoleh gambar sebagai berikut:


Posisi Bulan dan Matahari dilihat pada Aplikasi Stellarium



Pengamatan dari Arga Makmur, matahari tenggelam pada jam 18:13 posisi bulan pada saat itu pada azimut 273o 10” dan pada ketinggian 0o 56”.

Kriteria Rukyatul Hilal (Teori Visibilitas Hilal)

Teori Visibilitas Hilal terbaru telah dibangun oleh para astronom dalam proyek pengamatan hilal global yang dikenal sebagai Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berpusat di Yordania berdasar pada sekitar 700 lebih data observasi hilal yang dianggap valid. Teori ini menyatakan bahwa hilal hanya mungkin bisa dirukyat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4° (sebelumnya 7°) yang dikenal sebagai "Limit Danjon". Kurva Visibilitas Hilal sebagai hasil perhitungan teori tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah sekitar Katulistiwa (Indonesia) hilal baru mungkin dapat dirukyat menggunakan mata telanjang minimal pada ketinggian di atas 6°. Di bawah itu hingga ketinggian di atas 4° diperlukan alat bantu penglihatan seperti teleskop dan sejenisnya. Berdasarkan ketentuan diatas maka hilal belum terwujud karena baru mencapai 0o 56” belum mencapai 6,4o.


Kriteria Hisab Imkanur Rukyat

Pemerintah RI melalui pertemuan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) menetapkan kriteria yang disebut Imkanurrukyat yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan bulan pada Kalender Islam negara-negara tersebut yang menyatakan :

Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
(1)• Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan
(2). Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau
(3)• Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.

Kriteria inilah yang menjadi pedoman Pemerintah RI untuk menyusun kalender Taqwim Standard Indonesia yang digunakan dalam penentuan hari libur nasional secara resmi. Dengan kriteria ini pula keputusan Sidang Isbat Penentuan Awal Bulan Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah. Belakangan kriteria ini hanya dipakai oleh Indonesia dan Malaysia sementara Singapura menggunakan Hisab Wujudul Hilal dan Brunei Darussalam menggunakan Rukyatul Hilal berdasar Teori Visibilitas. Dengan kriteria ini maka pada kondisi seperti dalam gambar hilal belum terwujud karena ketinggian bulan dari horison baru mencapai 0o 56” belum mencapai 2°.

Kriteria Hisab Wujudul Hilal

Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan Hijriyah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut:
1) telah terjadi ijtimak (konjungsi),
2) ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
3) pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).

Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai. Atau dalam bahasa sederhanya dapat diterjemahkan sebagai berikut:

"Jika setelah terjadi ijtimak, Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian Bulan saat Matahari terbenam".

Dengan kriteria hisab wujudul hilal atau hisab hakiki wujudul hilal, maka pengamatan diatas telah memasuki tanggal baru kaeran pada saat mata hari tenggelam bulan telah berada di ufuk (horison).

Kriteria Kalender Hijriah Global

Universal Hejri Calendar (UHC) merupakan Kalender Hijriyah Global usulan dari Komite Mawaqit dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) berdasarkan hasil Konferensi Ke-2 Atronomi Islam di Amman Jordania pada tahun 2001. Kalender universal ini membagi wilayah dunia menjadi 2 region sehingga sering disebut Bizonal Hejri Calendar. Zona Timur meliputi 180° BT ~ 20° BB meliputi benua Afrika, Eropa, Asia dan Australia, sedangkan Zona Barat meliputi 20° BB ~ 180o BT  meliputi Benua Amerika. Adapun kriteria yang digunakan tetap mengacu pada visibilitas hilal (Limit Danjon) atau kriteria rukyatul hilal. Apabila telah memenuhi kreiteria Rukyatul Hilal pada wilayah tersebut maka dijadikan acuan bagi negara negara lain di kawasan tersebut.

Rukyatul Hilal Arab Saudi

Rukyatul hilal digunakan Saudi khusus untuk penentuan bulan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Kaidahnya sederhana "Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah maka sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu perlu dilakukan uji sains terhadap laporan tersebut".

Pandangan Penulis

Beberapat teori tersebut dapat dipakai bersamaan. Ketika teori yang satu tidak memenuhi maka dapat dipakai teori yang lainya. Sebagai bagian dari umat muslim dunia, ada baiknya teori kalender Hijriah Global dapat dijadikan acuan, sehingga pengamatan hilal tidak dibatasi oleh lokasi administratif semata. Karena bulan baru atau tempat lahirnya bulan (mathla') dapat berubah-ubah setiap bulannya mengikuti koorinat bumi pada saat setelah terjadi konjungsi (intima'). Apabila tempal lahir bulan ada koordinat 0 B (GMT), termasuk di zona timur maka seluruh benua Afrika, Eropa, Asia dan Australia dapat mengikutinya. Konsepsi ini sesuai dengan pendapat Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ . Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”

Ini adalah hikmah yang diberikan oleh Allah SWT, hikmah kalender qomariah yang melahirkan banyak ilmu. Hikmah untuk dapat saling berkomunikasi antar umat muslim, tidak saja dalam satu negara akan tetapi hingga berbagai negara. Dengan perbedaan ini dapat membuat kesepakatan metode yang melahirkan kalender hijriah yang dapat dipergunakan secara global.

Hadis nabi yang telah dituliskan di atas, yang dapat ditafsirkan dari sederhana hingga pada tingkat yang memerlukan teknologi. Maka penetapan seperti yang dilakukan di Arab Saudi dengan pernyataan dari satu orang yang dinyatakan jujur dan satu orang saksi, sudah dapat menjadi acuan dalam penetapan awal bulan. Bukankan Islam itu mudah....

Hikmah yang saya dapatkan dari perbedaan ini antara lain: saya dapat mengoperasikan Stellarium, dapat mencari tahu istilah azimut, konjungsi (intima), dan mathla'.

(wallahu alam bi shawab)


Sumber Pustaka:

1.    http://rukyatulhilal.org/visibilitas/indonesia/1432/s...
2.    Software Open Source Stellarium 0.11.5  di OS Ubuntu Linux 10.10

Posting Komentar

0 Komentar