Filsafat Pancasila dalam memandang Lingkungan


Lingkungan hidup didefinisikan menurut UU 23 Tahun 1997 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. Keterkaitan dengan Pancasila adalah sebagai berikut: semua benda daya keadaan dan mahluk hidup merupakan anugrah Allah Yang Maha Esa dan sekaligus juga merupakan titipan bagi manusia dari genereasi ke genarasi. Pada sila pertama pengelolaan lingkungan harus mempertimbangan manfaat dan akibat pada manusia. Lingkungan selain dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan umat manusia juga harus dijaga kelestariannya.


Pemahaman akan lingkungan dan karakteristiknya memberi pelajaran agar semakin menghargai sesama makhluk. Sikap ini merupakan sikap manusia yang beradab, menghargai sekecil apapun makhluk yang ada di dunia ini memiliki peran yang penting. Seperti pada siklus rantai makanan, para pengurai, jasad renik berperan sangat besar dalam menyelesaikan limbah yang dihasilkan oleh manusia. Keberadaan mereka perlu dijaga. Bahkan pengoptimalan peran pengurai dapat memberikan manfaat bagi umat manusia. Ada teknologi biogas, pembuatan bokashi dan teknologi pertanian organik yang sekarang disadari lebih sehat bagi manusia dan lingkungan. Jika direnungkan lebih dalam, moralitas yang ada pada sila kedua jika diamalkan akan memberikan manfaat yang besar bagi manusia sendiri. Keselarasan antara alam dan manusia.

Teknologi sementara ini membuat manusia bersikap “sombong”. Bahwa semua kebutuhannya dapat direkayasa menggunakan teknologi, dari benih, teknologi pengolahan, pupuk dan pestisida, pemanenan seolah semua berjalan linier antara kemajuan teknologi dan hasil. Kenyataan tidak sepenuhnya demikian. Muncul teknologi yang lembih mengajak untuk memahami karanter tanaman dan tanah seperti apa maunya dan seharunya. Teknologi SRI (System Rice Intensificatio) yang pertama kali dikembangkan di Madagaskar sekarang mulai populer diadopsi di Indonesia. Teknologi yang mengajak penggunanya mengelola secara alami, mengajak memahami padi sebagai tanaman rumput-rumputan yang membutuhkan perlakuan sebagai tanaman ruput. Mengajak peminatnya untuk memahami kondisi tanah beserta kebutuhanya. Bahwa tanah juga perlu perhatian untuk perkembangannya. Tidak diperas menggunakan teknologi hasil revolusi hijau. Akibat tanah semakin sakit, kritis hilang kesuburannya. Bahwa tanah adalah bagian fisik, kimia dan biologi yang harus sejalan seimbang. Sementara dengan “kesombongan” teknologi bahwa dapat direkayasa dengan peningkatan unsur kimia, karena unsur ini yang dibutuhkan tanaman. Akhirnya tanah tandus dan keras yang muncul pada lokasi persawahan. Bahwa tanah juga butuh bahan organik, butuh mahkluk hidup dari bakteri, cacing, dan lain sebagainya yang saling berinteraksi menyuburkan dan menjaga keseimbangan tanah.

Teknologi yang diimplementasikan tidak demokratis, bahkan pada jaman orde baru dipaksakan. Tentu saja sangat bertentangan dengan sila ke tiga dan keempat. Bahwa pada tiap jengkal tanah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Masyarakat lokal biasanya telah memiliki teknologi pengolahan yang alamiah. Ini semua dipaksa dalam rangka meningkatkan produksi. Dampaknya selain kerusakan lingkungan, juga kehilangan plasma nutfah. Untuk tanaman padi saja, di desa-desa sekarang sudah kesulitan untuk mencari benih asli setempat. Hampir semua petani telah tergantung dengan benih hibrida dan benih unggul yang diperoduksi oleh breeder seed. Bagi yang rindu dengan beras lokal, kerinduan itu tidak ada obatnya. Tidak ditemukan lagi beras seginim, tidak ditemukan lagi beras lebong, beras kemumu, yang ada adalah beras yang sama se Indonesia, karena benih diproduksi sama.

Padahal Pancasila menyiratkan agar kemajuan Iptek harus memberikan keadilan bagi manusia dan lingkungannya. Penebangan hutan diikuti dengan penghijauanya, eksploitasi tambang juga dipertimbangan reklamasi dan pengolahan limbahnya. Keadilan juga dapat diimplementasikan dengan adaya cost sharing dalam menjaga lingkungan sebagai biaya kompensasi bagi daerah-daerah yang memanfaatkan dan menjaga lingkungan.

Tetapi sayangnya dalam pelaksanaan banyak sekali persoalan lingkungan yang ditimbulkan akibat ulah manusia itu sendiri. Kesadaran manusia untuk mengimplementasikan Pancasila sebagai pandangan hidup lebih lemah dibandingkan dengan kepentingan jangka pendeknya. Kurang memperhatikan dampak baik bagi lingkungan maupun manusia lainya. Sehingga resiko kerusakan lingkungan tidak ditanggung oleh pelaku pengrusakan akan tetapi orang lain yang berada pada lokasi tersebut, orang yang tidak berdosa. Pemahaman Pancasila perlu ditingkatkan pada orang-orang ini sehingga dapat mengambil keputusan yang lebih baik dalam memanfaatkan lingkungan.

Posting Komentar

0 Komentar