PLTN SEBAGAI SALAH SATU SUMBER ENERGI LISTRIK YANG RAMAH LINGKUNGAN



Jika mendengar kata nuklir, masih muncul rasa ketakutan yang besar. Rasa ketakutan dengan nuklir berawal dari adanya bom atom yang diledakkan di Hirosima dan Nagasaki, kebocoran PLTN Chernobyle Uni Sovyet. Radiasi yang ditimbulkan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk pemulihannya. Teknologi nuklir sangat rumit, berbeda dengan sumber energi lain, sperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listri Tenaga Surya (PLTS) atau yang mulai marak belakangan ini adalah Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), masyarakat dapat memahami cara kerjanya sehingga dapat mengantisipasi resiko yang ditimbulkannya. Ketidakpahaman memberikan rasa ketakutan tersendiri.


Sekilas tentang PLTN

ISU tentang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) kembali menghangat. Sebagaimana diberitakan Suara Merdeka dan Kompas (8/12-2006), Pemerintah melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi tetap akan merealisasi rencana pembangunan (PLTN) meskipun masih muncul pro dan kontra di kalangan masyarakat. Keputusan itu mengundang kekhawatiran berbagai kelompok masyarakat di Jepara serta Kudus dan sekitarnya, khususnya yang bergabung dalam Masyarakat Rekso Bumi (Marem).

Rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, memiliki sejarah yang panjang. Pada 1982, rencana itu telah dirintis oleh Badan Tenaga Atom Nasional(BATAN) dengan mengkaji rencana tapak dan menghimpun pandangan masyarakat tentang PLTN. Pro dan kontra juga telah menyeruak ke permukaan. Gus Dur waktu itu mengancam akan tidur di sekitar proyek kalau sampai PLTN itu terhenti ketika Menristek Habibie menyatakan bahwa PLTN baru akan dibangun jika alternatif lain sudah tidak ada.

Namun demikian, selama beberapa tahun terakhir ini, gagasan merealisasi pembangunan PLTN itu mencuat kembali. BATAN aktif menggandeng dua pusat penelitian dari sebuah perguruan tinggi untuk menginventariasi kondisi sosial ekonomi dan pandangan masyarakat terhadap proyek tersebut. Hasil penelitian yang dipresentasikan pada seminar di Jepara Juli 2006 mengundang banyak pertanyaan, karena simpulannya menyebutkan bahwa responden yang menyatakan setuju jumlahnya lebih besar ketimbang yang menentang. Kendatipun misalnya hasil penelitian itu valid, pemprakarsa proyek tetap harus memperhatikan kelompok yang kontra, karena mereka merupakan bagian dari stakeholder. Lebih dari itu, keberlanjutan sebuah proyek sangat bergantung kepada tingkat penerimaan masyarakat (social acceptance). Tulisan berikut menelaah mengapa masyarakat menolak PLTN

Menurut Wikipedia Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah stasiun pembangkit listrik thermal di mana panas yang dihasilkan diperoleh dari satu atau lebih reaktor nuklir. Reaktor nuklir adalah tempat/perangkat dimana reaksi nuklir berantai dibuat, diatur dan dijaga kesinambungannya pada laju yang tetap (berlawanan dengan bom nuklir, dimana reaksi berantai terjadi pada orde pecahan detik, reaksi ini tidak terkontrol).

Reaktor nuklir digunakan untuk banyak tujuan. Saat ini, reaktor nuklir paling banyak digunakan untuk membangkitkan listrik. Reaktor penelitian digunakan untuk pembuatan radioisotop (isotop radioaktif) dan untuk penelitian. Awalnya, reaktor nuklir pertama digunakan untuk memproduksi plutonium sebagai bahan senjata nuklir.

Saat ini, semua reaktor nuklir komersial berbasis pada reaksi fissi nuklir, dan sering dipertimbangkan masalah risiko keselamatannya. Sebaliknya, beberapa kalangan menyatakan PLTN merupakan cara yang aman dan bebas polusi untuk membangkitkan listrik. Daya fusi merupakan teknologi ekperimental yang berbasi pada reaksi fusi nuklir. Ada beberapa piranti lain untuk mengendalikan reaksi nuklir, termasuk di dalamnya pembangkit thermoelektrik radioisotop dan baterai atom, yang membangkitkan panas dan daya dengan cara memanfaatkan peluruhan radioaktif pasif, seperti halnya Farnsworth-Hirsch fusor, dimana reaksi fusi nuklir terkendali digunakan untuk menghasilkan radiasi neutron

Posting Komentar

0 Komentar