SUBAK DI ARGA MAKMUR BENGKULU UTARA YANG MASIH LESTARI

EKSISTENSI SUBAK PADA DAERAH EKS TRANSMIGRASI DI KABUPATEN BENGKULU UTARA


Oleh : Anton Sutrisno


Pendahuluan



Ketika mendengar kata Subak, banyangan yang terlintas pada benak kita adalah Pulau Dewata Bali. Sistem pengaturan air secara tradisional yang sudah berabad-abad lamanya, akan tetapi masih langgeng sampai dengan sekarang. Diterapkan dalam pengaturan air untuk kegiatan pertanian di Pulau Bali. Subak ini berkaitan erat dengan kegiatan keagamaan hindu dan aktivitas pengelolaan air. Sehingga akan melekat erat dalam pengelolaan air dimana ada orang yang beragama hindu bali melakukan kegiatan yang memanfaatkan pertanian.

Membahas subak akan menjadi menarik untuk diamati jika ternyata dapat tetap tumbuh di daerah yang jauh dari tempat asalnya. Di Kabupaten Bengkulu Utara terdapat daerah transmigrasi yang berasal dari Bali pada tahun 70 an. Desa Rama Agung mayoritas penduduknya berasal dari Bali yang beragama Hindu. Desa Sumber Agung hanya sebagian penduduk dari Bali, ada juga dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Keduanya berada di Kecamatan Arga Makmur, yaitu di Ibu Kota Kabupaten Bengkulu Utara. Desa Rama Agung berada pada pusat Kota Arga Makmur, sebagian perkantoran dan Rumah Dinas Pejabat Kabupaten ada di sana. Sedangkan Desa Suber Agung masih berada di pinggiran kecamatan berjarak sekitar 15 km dari pusat kota.

Saat ini di Desa Rama Agung telah bercampur berbagai etnis dan agama. Masjid, Gereja, Pura dan Vihara ada di sana dengan jarak yang berdekatan. Selain suku Bali, juga terdapat jawa, batak dan juga masyarakat yang berasal dari sekitar Arga Makmur. Letak rumah juga sudah berbaur, mudah untuk menandai masyarakat Bali yaitu dengan adanya tempat sesaji yang dibangun di depan rumah. Sementara untuk agama lain selain umat Hindu tidak ada bangunan ini.



Berbeda di Desa sumber Agung, mereka masih mengelompok sesuai dengan penempatan pada saat transmigrasi. Belum banyak pencampuran karena daerah ini cukup jauh dari pusat kota. Jika sepintas dilihat di sana akan tampak blok area Jawa, Sunda dan Bali dengan ciri khas pekarangan dan bentuk rumah masing-masing. Pembauran di pemukiman tidak terlalu menonjol.

Menariknya, meskipun sudah berbaur dan telah lama meninggalkan kampung halaman, kegiatan Subak tetap dilestarikan. Anggota Subak tidak semuanya orang Bali, siapapun yang memiliki lahan di areal tersebut. Bahkan ada salah seorang ketuanya berasal dari suku Sunda dan beragama Islam.

Pembahasan tulisan ini meliputi deskripsi subak, mekanisme pengaturan dinamika kelompok, pengaturan air, gotong royong dan sanksi yang harus ditaati oleh semua anggota. Bisa jadi ini pembahasan ini akan berbeda dibanding dengan subak asalnya di pulau Bali. Untuk itu juga diambil definisi yang sudah umum pada publikasi wikipedia, sehingga ini dapat menjadi gambaran pembanding subak yang ada. Kemudian dikutipkan juga hasil modeling Lansing (1996) yang menggambarkan keefektifan pola subak ini. Sehingga dapat memberikan keyakinan kepada kita, tentang kearifan lokal yang sudah ratusan tahun ini ternyata selaras dengan ilmu pengetahuan.


Tentang Subak


Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Wikipidia Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia. Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali.

Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini.

Subak telah dipelajari oleh Clifford Geertz, sedangkan J. Stephen Lansing telah menarik perhatian umum tentang pentingnya sistem irigasi tradisional. Ia mempelajari pura-pura di Bali, terutama yang diperuntukkan bagi pertanian, yang biasa dilupakan oleh orang asing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini.


Modeling Subak oleh Stephen Lansing


Berikut ini disadurkan hasil Modeling Staphen Lansing yang membahas kearifan tradisional Subak, manfaat dari subak tidak saja pada pembagian air akan tetapi juga pada pengendalian hama padi. Hasil ini merupakan rujukan pada kondisi Subak yang “asli” sehingga dapat menjadi pembanding pada subak yang ada saat ini.

Lansing mencoba menemukan cara untuk menganalisis dampak ekologis sistem manajemen tradisional didorong oleh krisis produksi beras yang dipicu oleh munculnya "Revolusi Hijau" di Bali. Selama tahun 1950-an Indonesia terpaksa untuk mengimpor hampir satu juta ton beras setiap tahun. Pemerintah Indonesia kemudian sangat menerima manfaat yang lebih tinggi dari "Revolusi Hijau" beras, dan pada tahun 1967 meluncurkan sebuah program besar yang disebut BIMAS (Bimbingan Massal) untuk meningkatkan produksi beras dengan memberikan petani bibit padi unggul dan akses mendapatkan pupuk dan pestisida. Varietas PADI baru tumbuh lebih cepat daripada tanaman asli, dan petani yang didorong untuk penanaman padi unggul baru tiga kali setahun bila memungkinkan. Produksi beras meningkat, tetapi sebagai awal seperti 1974 tingkat lapangan pejabat pertanian di Bali melaporkan "kekacauan di penjadwalan air" dan terjadi ledakan hama padi. Pada tahun 1984 Lansing menulis sebuah laporan yang tidak diminta untuk peringkat pembangunan Asia, di mana dia mencoba untuk menunjukkan bagaimana masalah ini terkait dengan perubahan tradisional sistem pengelolaan air yang terjadi pada masyarakat.

Dilaporkan bahwa peran ekologis penjadwalan air dan manajemen pengendalian hama oleh bedugul (water temple). Sebelum revolusi hijau, petani Bali bertemu setiap tahun di bedugul daerah untuk mengatur tanam pola, yang saling keterkaitan erat jadwal irigasi dari sistem irigasi yang satu ke berikutnya secara mengejutkan. Ritual hubungan antara Bedugul (candi air) menekankan ketergantungan hubungan hulu hilir, dan Pura besar juga membantu memecahkan pertengkaran atas hak air. Dengan kedatangan revolusi hijau, upacara keagamaan terus diadakan di Bedugul, tetapi petani yang didorong untuk menanam padi sesering mungkin dan kuil kehilangan kendali jadwal tanam. Sebelumnya jadwal tradisional tersebut memiliki dampak penting dalam pembagian air dan pengendalian hama. Dengan memungkinkan para petani untuk menyinkronkan pola tanam, jaringan bedugul menyediakan mekanisme untuk memfasilitasi berbagi air, dan juga memungkinkan para petani untuk menyinkronkan panen dan dengan demikian membuat periode bera singkat lebih dari daerah yang luas, sehingga mengurangi populasi hama padi. Keberhasilan periode bera sebagai teknik pengendalian hama yang ditentukan pada tingkat dan durasi periode bera. Kecuali semua bidang yang luas bera pada saat yang sama, hama hanya bisa bergerak dari satu bidang ke bidang.

Bank Pembangunan Asia terus menganjurkan penggunaan pestisida daripada periode bera disinkronisasi sebagai cara yang tepat untuk mengendalikan hama sebagaimana telah dilakukan oleh Subak. Empat tahun kemudian. Sebuah studi oleh pejabat Bank Dunia melaporkan bahwa penggunaan pestisida telah mencemari tanah dan sumberdaya air. Dalam sistem pertanian tradisional, kelompok subaks (asosiasi lokal irrigator) milik bedugul lokal menyesuaikan pola tanam sama untuk mencapai bera periode atas daerah yang cukup besar untuk meminimalkan penyebaran hama, tapi koordinasi penanaman padi dalam skala yang terlalu besar akan membuat tidak efisien terhadap permintaan air.

Model simulasi menyediakan cara untuk menganalisis trade-off ini, dan dengan demikian mendapatkan wawasan yang lebih dalam efektivitas sistem Subak sebagai sistem manajemen ekologis.


Subak di Bengkulu Utara


Jika dilihat dari pembahasan yang disarikan dari Lansing tersebut diatas, maka sudah ada perbedaan Subak pada konsepsi awal dengan Subak saat ini di Bengkulu Utara. Wilayah kegiatan Subak ditentukan berdasarkan luasan areal yang dapat diairi oleh bendungan irigasi. Dalam satu bendungan dibangun satu Bedugul (Candi Air) sebagai tempat pemujaan terhadap dewa Baruna yang memelihara dan menjaga air. Bendungan yang ada di daerah ini berasal dari sungai-sungai kecil yang dibangun cek dam. Sehingga terdapat 3 subak di Kecamatan Arga Makmur. Subak Tirta Gangga, Subak Rama Dewata, Subak Tripugar Baru. Kelompok Subak yang besar adalah Subak Tirta Gangga.

Masing-masing Subak ini dipimpin oleh seorang Klian Subak (ketua/imam). Klian ini yang menetapkan kapan mulai tanam. Biasanya pada awal tanam dilakukan pembersihan saluran irigasi dan juga pengecekan bendungan. Kegiatan ini dilakukan secara bergotong royong sesama anggota subak. Gotong royong dikoordinir oleh Ulu-ulu, yang juga bertugas mengatur air. Pembagian air ditentukan berdasarkan luasan lahan yang dimiliki oleh anggota. Perbedaan dengan di Bali, Klian tidak mengatur pola tanam dan pergiliran tanaman, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil, karena pengaturan pola tanam telah ditetapkan oleh Dinas Pertanian dan Dinas PU Kabupaten Bengkulu Utara.

Pada tahun 1983 kelompok subak ini di bina oleh PU Pengairan Kabupaten Bengkulu Utara, sehingga nama kelompok ini dirubah menjadi KP2A (Kelompok Petani Pemakai Air), Peran strategis pengaturan air dipegang oleh Ketua KP2A dan pengurusnya, sedang pembagian air masih dilakukan oleh Ulu-ulu. Peran Klian menjadi tidak terlalu dominan, hanya memimpin upacara keagamaan saja. Dampak dan pengaruh Subak tidak seperti yang digambarkan di atas. Kearifan lokal yang mampu mengedalikan hama dengan pengaturan pola tanam telah terdistorsi oleh kebijakan ini.


Dinamika Organisasi


Tahun 2007 – 2008 penulis melakukan pendampingan terhadap kelompok tani yang ada di Bengkulu Utara, salah satunya kelompok Subak melalui Organisasi Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera (PPNSI). Sebuah lembaga yang mengadvokasi kepentingan petani dan memfasilitasi akses kelompok tani terhadap program-program Departemen Pertanian.

Kelompok Subak Tirta Gangga difasilitasi sehingga dapat mengakses program LM3 (Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat) dari Departemen Pertanian. Klian Subak Tirta Gangga adalah Wayan Pageh, jabatannya juga merangkap sebagai Bendahara pada Kelompok Tani Tirta Gangga yang juga KP2A Tirga Gangga. Sedangkan ketua kelompoknya adalah seorang dari Suku Sunda yaitu Edi Suryadi yang lebih dikenal dengan nama Mang Edi, seorang buta huruf tetapi jujur dan amanah sehingga dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin kelompok tani sekaligus KP2A.

Kelompok Subak lainnya adalah Subak Rama Dewata yang dipimpin oleh Wayan Balik, dia juga merangkap sebagai ketua kelompok tani dan juga klian subak. Fasilitasi PPNSI hingga memperoleh Bantuan sosial dari Menteri Pertanian sebanyak 10 ekor sapi PO. Pada kelompok ini kegiatan subak juga hanya kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan saja, pembagian air lebih didominasi oleh KP2A yang tugasnya dilakukan oleh ulu-ulu.

Ada beberapa kesepakatan kelompok yang penulis tidak temukan pada kelompok lain, berkaitan dengan hak pemakai air dan juga sanksi. Penulis pernah betugas sebagai penyuluh pada Desa Sido Urip tidak menemukan kesepakatan yang demikian. Desa Sido Urip merupakan desa yang berbatasan dengan Rama Agung, yaitu di Dusun Suka Sari dimana Subak Tirta Gangga. Oleh karena itu sementara saya menilai bahwa kesepakatan tersebut merupakan warisan subak.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, kelompok subak ini lebih tertib dan taat terhadap jadwal pertemuan, dibanding dengan kelompok tani lainnya. Pertemuan dilakukan setiap bulan sekali pada tanggal tertentu yang telah disepakati. Pada pertemuan ini biasanya membahas permasalahan anggotanya terutama dalam pembagian air ulu-ulu, pembayaran iuran bulanan dan juga kegiatan simpan pinjam yang memanfaatkan kas kelompok. Peserta yang mengikuti pertemuan ini adalah semua petani dalam satu hamparan yang terkena saluran air dalam wilayah subak. Tidak terbatas sehingga tidak memandang agama, kepercayaan atau suku tertentu. Ini berbeda dengan kelompok tani lain, yang pertemuannya bila ada bantuan atau memang diminta oleh penyuluh. Pada kelompok Subak ini penyuluh atau petugas dari Dinas Pertanian harus menyesuaikan jadwal mereka untuk dapat bertemu dengan anggota kelompok secara keseluruhan.

Pembagian air ditetapkan berdasarkan berapa polong yang dibutuhkan. Polong merupakan istilah pipa atau saluran dari irigasi ke lahan. Banyaknya polong menggambarkan debit air yang dibutuhkan. Ditentukan berdasarkan luasan lahannya atau pemanfaatanya. Sebagai contoh jika seorang anggota subak memanfaatkan air untuk kolam satu petak, biasanya kebutuhan airnya dua polong yang setara dengan luas sawah 5 petak. Jumlah polong juga akan menentukan kewajibannya dalam membayar iuran bulanan kelompok.

Jika terjadi kerusakan atau pemeliharaan rutin, maka dilakukan gotong royong memperbaiki bendungan dan saluran irigasi. Kerusakan sering terjadi seperti tanggul yang jebol, tanah longsor atau pohon tumbang yang menutup saluran irigasi. Kesepakatan gotong royong ini ditetapkan oleh ketua KP2A atau ulu-ulu. Apabila ada yang tidak dapat hadir maka terkena denda. Kewajiban gotong royong ini ditetapkan berdasarkan polong volume air. Jika anggota kelompok ini memiliki dua hamparan lahan sawah, maka dia harus mengirimkan 2 orang yang ikut gotong royong. Biasanya bapak dan anak ikut gotong royong. Jika tidak mampu, maka dia harus membayar denda (ngampel). Pembayaran denda ini (ngampel) juga berlaku pada orang yang sudah tidak mampu lagi bekerja berat, seperti sudah tua atau janda. Ngampel ini merupakan sejumlah pembayaran atas manfaat air selama satu tahun, yang pembayaran selama tiga bulanan (mengikuti panen). Ngampel bukan denda atas ketidakhadiran gotong royong.

Berkaitan dengan penerapan hak dan juga sanksi, apakah itu denda atau ngampel biasanya sering terjadi perdebatan yang cukup sengit. Jika sanksi yang diberikan tidak diperhatikan, maka resikonya dapat dikeluarkan dari kelompok. Pada saat ini seorang klian menjadi penengah dan pemutus perselisihan. Selama ini keputusan dari seorang klian subak akan ditaati oleh semua anggota. Karena mereka percaya akan mendapatkan balak, atau karma pala akibat penentangan itu.

Anggota kelompok subak dapat tidak berpartisipasi (tidak aktif) pada kegiatan berkaitan dengan gotong royong perbaikan saluran air, jika sedang mananam palawija. Akan tetapi tetap membayar kewajiban iuran bulanan kelompok. Dia tetap berhak untuk ikut kegiatan simpan pinjam yang ada dikelompok. Jika sudah bersawah lagi maka dapat bergabung sebagaimana biasanya.







Baca Juga :


Penutup


Kendala yang dihadapi saat ini adalah semakin mengecilnya debit air. Sehingga banyak lahan yang beralih fungsi ke tanaman lain seperti karet dan sawit. Mereka yang tidak butuh air lagi kebanyakan keluar dari komunitas Subak. Anggota subak semakin berkurang, sehingga peran keagamaan pun dalam memuja Dewi Sri dan Dewa Baruna menjadi hilang. Tetapi setidaknya Replikasi Subak Bali masih ada di Desa Eks Transmigrasi Rama Agung Kecamatan Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara, meskipun tidak seperti aslinya.


Referensi

http://en.wikipedia.org/wiki/Subak_(irrigation)
J. Stephen Lansing (1996) simulasi Modeling irigasi Bali. Di kanal dan masyarakat: sistem irigasi skala kecil, ed. oleh J. Mabry, pp. 139-156. University of Arizona

Posting Komentar

0 Komentar